05 | Pindah ke Kost

11 2 2
                                    

Barang yang ia perlukan sudah siap semuanya. Jika ditotal, terdapat dua koper dengan satu tas besar berisi pakaian dan hal lain yang sangat Amitha perlukan. Kini, kamar Amitha lenggang. Meja riasnya nyaris kosong, pun dengan lemari pakaian.

"Mbak kenapa pergi ke Tasik? Nanti yang jadi babunya Azka siapa?"

Amitha menoleh sekali. Bocah menyebalkan itu tak pernah sehari pun tidak menganggu ketenangan Amitha. Satu sisi, ia merasa akan mendapatkan kebebasan nantinya. Tapi, di sisi lain, bisa dipastikan ia akan merindukan setiap tingkah laku adiknya.

"Mbak prakerinnya di sana, Azkaaa. Mbak udah bilang berapa kali, deh. Dasar bocil, nggak paham-paham, heran."

Terlihat Azka yang memberengut. Bocah itu memutuskan untuk memainkan game pada ponsel saat Amitha kembali mengurus barang bawaannya. Lima hari lagi menuju hari pertama masuk prakerin. Cewek itu harus kembali ke Tasikmalaya setelah kemarin lusa baru menemukan kost di sana.

Eva sangat setuju dengan pilihan kost tersebut. Yang pertama ia lihat yaitu dari segi lingkungan. Eva ingin memastikan Amitha tidak akan berada di lingkungan yang penuh dengan ke-toxic-an. Ia juga sudah mengetahui letak pasti kost tersebut. Terlebih, tak jauh dari tempat tinggal Amitha nanti, terdapat sebuah warung nasi yang bisa Eva percaya untuk memenuhi kebutuhan pokok anaknya.

"Amitha, kamu yakin mau kost di Tasik?"

Jika Amitha menghitung sedari awal, entah berapa puluh kali Eva menanyakan hal yang sama. Entah berniat menggoyahkan keyakinan Amitha atau apa, cewek itu selalu menjawab dengan hal yang sama juga.

"Iya, Mi. Ami yakin." Amitha melipat baju terakhir untuk diletakkan di dalam koper. "Mami nggak usah khawatir, Amitha bisa jaga diri. Amitha janji sama Mami."

Ibu dua anak itu mencoba tersenyum. Ia mengelus rambut Amitha sekilas, sebelum berkata, "Ya udah. Kamu baik-baik ya, nanti, di sana. Kamu harus selalu sehat. Harus ngasih kabar tiap hari ke Mami. Paham?"

Amitha mengangguk. Ia menarik ritsleting hingga koper tertutup sempurna. "Iyaa Mamikuuu. Nanti Ami telepon tiap malem. Mami baik-baik juga ya, di sini. Inget ... Mami nggak boleh nikah lagi kalo Ami belum kasih izin," minta Ami dengan wajah cemberut. Jujur, ia masih khawatir ketidak beradaannya dimanfaatkan oleh pria itu.

Eva menarik dan membuang napasnya perlahan. Rupanya, Amitha masih tetap pada pendiriannya. "Iyaaa. Mami nggak akan nikah sebelum kamu kasih izin. Jangan terlalu dipikirin."

Meski berkata demikian, Amitha dibuat kesal karena pria itu ikut mengantar dirinya ke Tasikmalaya, bersama Eva. Alasannya karena tidak ada supir. Karena itu, Eva meminta pria yang baru diketahui Amitha bernama Tama itu untuk menyetir. Meski jika boleh memilih, Amitha lebih baik menyewa orang lain daripada harus berada semobil dengan Tama.

"Kamu baik-baik, ya, di sini. Jangan lupa makan. Jaga kebersihan. Besok belanja perlengkapan lain yang masih kurang. Sekalian kamu adaptasi sama orang-orang di sini. Biar nanti Mami kasih uang buat beli apa yang kamu butuhin."

Lagi-lagi, Amitha mengangguk. Ia tidak memiliki mood untuk balas berbicara dengan maminya. Terlebih saat Tama dengan soknya memberi nasihat yang sudah pasti Amitha lakukan, cewek itu merasa semakin kesal dibuatnya.

"Kamu baik-baik, ya, di sini. Kalo ada apa-apa langsung hubungi Mami. Kalo mau pulang, jangan lupa hubungi Mami. Biar nanti ada yang jemput kamu ke sini."

Eva kembali menelusuri ruangan yang akan menjadi tempat tinggal Amitha selama tiga bulan ke depan. "Ami, kamu yakin ambil kost ini? Kayaknya kecil banget ...."

"Iya, Mi," jawabnya. "Ami nggak mau kost yang terlalu besar. Toh, tinggalnya juga sendirian. Kecuali kalo Mami mau temenin Ami di sini," canda Amitha. Lagipula, bukankah Eva yang menginginkan kost dengan jarak yang paling dekat dengan rumah Praga?

"Ya udah, Mami temenin kamu di sini, deh."

"Azka juga."

Amitha tertawa. Untuk sejenak, ia mulai mengabaikan keberadaan Tama. "Nggak, lah. Ami mau sendirian. Biarin Ami tumbuh dewasa dengan cara gini, Mi."

Eva membuang napas perlahan. Bisa dipastikan, wanita itu akan sering merindukan Amitha. Hari-harinya terlalu terbiasa dengan keberadaan putrinya meski belakangan tak luput juga dalam keributan. Sudah pasti, Eva akan merasa kehilangan setelah ini.

"Sini, peluk Mami dulu," perintahnya seraya merentangkan tangan.

"Peluk Azka juga," timpal Azka yang sudah meninggalkan ponselnya di atas koper.

Ami menghampiri dengan netra yang berkaca-kaca. Bahkan dagunya bergetar menahan isakan yang nyaris terdengar. "Ami pasti bakal kangen sama Mami."

"Kalo sama Azka?"

"Nggak, kamu seringnya nyusahin Mbak doang."

"Tapi Azka bakal kangen sama Mbak."

Sedetik saja, tangis keduanya pecah. Ibu dan anak itu saling menyalurkan segala perasaan yang membuncah. Tak bisa dipungkiri, keduanya sama-sama berat untuk berpisah. Selama ini, Ami sangat dekat dengan Eva, pun dirinya.

Hampir saja pertahanan Amitha goyah. Ia ingin kembali saja pulang ke rumahnya bersama Eva. Hidup sendirian sama sekali tak pernah ada dalam kamus hidupnya.

"Ami pulang aja, yuk," ajaknya dengan linangan air mata. Eva mengelus rambut Amitha dengan lembut. Wanita kepala tiga itu mengasihi Amitha dengan segala yang ia bisa.

"Nggak, Mi, jangan bikin goyah pertahanan Ami. Ami udah yakin. Mami cukup dukung setiap keputusan Ami, Ami pasti baik-baik aja."

***

Cewek berambut tercepol itu memandang pintu kost dengan tatapan hampa. Kantung matanya membengkak, terlihat jelas jejak air mata dari kedua pipinya. Ternyata, setelah ibunya benar-benar pulang kembali ke rumah, Amitha masih tak bisa menghentikan tangisannya.

Tapi, ia tak boleh seperti ini terus. Amitha tak boleh cengeng. Ia harus membiasakan diri menjadi orang yang kuat. Tak akan ada yang menghiburnya saat sedang sedih. Jadi, ia harus bisa menghadapi segala rasa sedihnya sendirian.

Amitha menghela napas berat untuk ke sekian kali. Ia menjatuhkan pandangan pada seragam khusus PRAKERIN yang didapatinya dari sekolah. Amitha mengelusnya sekali. Menatap cukup lama seraya meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tak ingin terlalu larut pada kehampaan, Amitha mulai menyusun lagi semua baju di koper ke dalam lemari. Namun, air mata tetap tak bisa ia bendung lagi dan lagi. Jika boleh jujur, cewek itu tak yakin dirinya bisa hidup mandiri. Membayangkan hari demi hari ia harus melakukan segalanya sendiri, cukup membuat Amitha tertekan atas dirinya sendiri.

Ia hanya ingin tiga bulan ke depan segera berlalu. Berjalan secepat kilat hingga ia bisa kembali hidup bersama maminya. Amitha membuang napas kasar. Jika bukan karena Tama, cewek itu tak akan pernah berakhir di sini. Ia tak akan menghadapi kecemasan-kecemasan yang tak pernah Amitha hadapi sebelumnya.

Sungguh, Amitha semakin membenci pria yang disebut mami sebagai calon papi tirinya.

***

Ahaha bab lima, nih, Bestie.

Hope you enjoy it!

Makasiih yang udah mampir, mwah.

Salam,
Rismacakap

PRAKERINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang