Aaron: Perpisahan

95 15 63
                                    

Perpisahan tidak selamanya menyakitkan. Kepergian guru Matematika dari dalam kelas contohnya.

•••••

Kutarik dua sudut bibirku kala mendapati mama yang terbaring dalam keadaan baik-baik saja ditemani dengan seorang suster yang memang sudah dijadwalkan untuk hadir hari ini.

“Gimana kondisi Mama, Sus?”

“Baik, Mba. Tadi sempat sesak napas juga sih, alhamdulillah sekarang napasnya sudah membaik, kok.” Alhamdulillah. Aku bernapas dengan lega akhirnya. Mungkin tadi hanya perasaan spontanitas saat mama mengalami sesak napas.

Aku keluar dari kamar mama setelah meminta tolong kepada Suster Evy untuk membantu merawat dan menjaga mama. Sementara aku masih memiliki waktu istirahat sebelum jam empat nanti.

Sesampai di kamar, kubuka laptop dan memilih berkutat di sana. Mencoba mencari sesuatu yang dapat aku temukan tentang Kak Aaron di sini. Dia mungkin tak sefamous Ervan—si anak tunggal kaya raya yang hobinya merecoki kawasan sekolah, tapi aku yakin, keanehan dari Kak Aaron dapat aku temukan di sini.

Alasan perlakuan seseorang dapat berubah-ubah.

Internet tengah mengakses pencarian yang baru saja aku ketik rapi di papan ketik. Belum sempat aku mengecek satu per satu web yang masuk di sana, netraku lebih dulu dialihkan dengan suara telepon dari ponsel dengan soft case biru lautku.

Unknown number is calling.

“Nomer siapa ini?” aku memandangi nomor yang tak dikenal itu dengan seksama. Mencoba meneliti milik siapa nomor ini. Pada akhirnya aku menggeser ke atas panel hijau yang terletak di tengah bawah ponsel. Takut ada sesuatu yang penting.

“Halo. Dengan siapa?”

Aaron.”

Jantungku berdebar-debar seketika. Pasti kuping gue bermasalah.

“Saya tanya serius, siapa ini?”

Aaron. Apa masih kurang jelas?nggak salah lagi. Dia emang Kak Aaron.

“Da–dapat nomer gue darimana?” grogi tiba-tiba.

Admin sekolah.”

“Kak. Gue tau sekolah gue. Admin nggak akan kasih nomor siswanya ke sembarang orang.”

“Well. I know, tapi gue bukan orang asing. Gue salah satu murid di sekolah itu––

“Ya tetap aja tukang main petak umpat di kolong!” kataku spontan memutus ucapan Kak Aaron. Tiba-tiba suara panggilan mendadak berdenging. Aku menatap ponselku seksama. Panggilan mendadak diputuskan.

“Dasarnya aneh tetep aneh!”

Aku lantas kembali menduduki kursi belajarku. Kembali menatap laptop dengan layar yang sudah mati. Mampus, batre gue habis. Aku langsung ambil alih ponselku untuk searching di internet, tapi jauh dari itu, aku kembali disibukkan dengan pikiran yang menemukan hal baru tentang Kak Aaron.

“Sudah dua kali ini ketika gue nyinggung persoalan Kak Aaron yang tengkurap di bawah kolong meja, dia selalu bersikap aneh,” gumamku sembari menatap nomor yang berada di log panggilan terakhirku.

Aku pelan-pelan memijit pelipis. Pusing gue mikirin ini.

Pada akhirnya gue lebih memilih untuk membanting ponsel ke kasur dan ikut baring sebentar di salah satu tepinya. Istirshat sepertinya diperlukan, sebelum akhirnya jam empat aku harus balik ke sekolah. Memikirkan ini semua hanya akan mengundang rasa penasaran yang tidak akan muncul-muncul jawabannya bila aku tidak bertanya langsung kepada Kak Aaron. Lagian kenapa sih, gue kok kepo banget.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang