Aaron: I'm Promise

63 12 19
                                    

Aku kesepian walau di sampingku ada banyak orang. Ragaku memang di sana, tapi ketenanganku bukan di sana.

Afsana Safiyya

•••••

Pemuda itu lekat menatap ke arahku, sebuah tatapan tak percaya. Dia mengusap wajahnya kasar, lalu melipat kedua tangannya di dada.

“Kamu serius?” tanyanya yang membuat aku sesegera mungkin mengangguk.

“Awalnya gue emang nggak percaya, tapi setelah tau bahwa tante gue dibenci satu keluarga sama Oma, Opa, bahkan Daddy gue netral. Gue akan bantu lo kalau lo emang nggak punya bukti.”

“Atas dasar apa?” Kak Aaron masih ragu ternyata.

“No. I don’t think about it. Ini semua murni karena aku tau menegakkan keadilan itu susah.”

Dia berjalan kecil. “Dunia ini memang nggak mudah.” Aku mendengar dia menghela napas. “Gue juga kaget kalo ternyata lo sepupu gue, lebih kaget lagi ternyata nenek dan kakek kita benci Mama gue. Nggak cuma kaget sih, tapi sakit juga.”

Kak Aaron mendudukkan tubuhnya di bawah. Ia menekuk kedua lututnya dengan tangan yang menjulur di atasnya. Dia mendongak menatapku dengan mata yang sipit.

“Lo sadar nggak kalau gue tuh suka sama lo.”

Tidak, jangan sekarang. Kumohon. Jantungku sedang tidak normal, jangan buat ini semakin abnormal.

“Dan payahnya, gue kayak bodoh banget udah suka sama orang yang udah ngehancurin keluarga gue. Ralat, keluarga lo hancurin keluarga gue——.”

“Kak, I’m so sorry untuk semua yang udah mereka perbuat ke Aunty Gabriella. Gue mewakilkan keluarga gue, gue mau minta maaf untuk semua ini. Gue tau kesalahan itu nggak bisa untuk dimaafkan, meskipun kedengerannya konyol.” Aku menghela napas, lalu membalikkan badan dan memunggunginya. “Saat itu gue emang belum lahir. Belum tau gimana pahitnya dari kecil hidup sendiri, tapi gue bisa rasain. Karena dari umur tiga belas pun, gue ada banyak orang, tapi gue kesepian. Raga gue ada di situ, tapi ketenangan gue nggak.”

“I know this is hard for me and for you too. Kalau seandainya bukti itu ngarah ke bokap gue, gue siap dan sedia untuk bantu memenjarakan kalau lo mau proses ini ke hukum.” Aku menatap Kak Aaron lagi. Dia masih memandangiku, tapi tatapannya berbeda. Ia sendu.

Kak Aaron berdiri. “Saf. Gue juga tau ini nggak mudah. Gue juga tau kalau sebenernya lo juga susah, tapi kesalahan di masa lalu nggak bisa ngerubah rasa kehilangan gue.” Kak Aaron menunduk. “I love you, but I hate your fams.”

“Our fams, Kak,” ralatku.

“Dia bukan lagi keluarga gue, sejak gue tau kalau mereka udah nyakitin Mama gue.” Dia menghela napas. “Hal menyakitkan yang saat ini gue rasain adalah mencintai seorang perempuan yang ternyata ada hubungannya dengan orang yang sudah menghancurkan keluarga gue di masa lalu.”

Sakit hati aku mendengarnya. “Kak. Gue nggak minta lu suka sama gue, gue nggak minta lu sayang sama gue, bahkan gue nggak minta lu mencintai gue. Tolong jangan buat ini terasa berat buat gue.”

“Mau gimana lagi? Semua udah hadir dan terlanjur masuk ke dalam hati.”

“Okay stop! Gue udah nggak kuat. Gue mau bantuin lo cari bukti bahwa bokap gue adalah pelaku pembunuhan itu.”

“Nggak usah cari buktinya, gue udah ada.” HAH?

“Gue bisa lihat itu?” tanyaku.

“Sure, but not now.”

“When?”

“Tomorrow. You can wait me, right?”

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang