Aaron: Takdir-Nya

42 8 19
                                    

Allah memiliki banyak cara untuk membuat hamba-Nya bersyukur lagi. Termasuk dengan memberikan rasa sakit.

•••••

“Ma. I hope you fine in hereafter.” Tangan lemas itu mengelus batu nisan yang baru saja ditancapkan bersama tanah yang masih basah.

Derai air mata terus mengucur hingga membasahi rahang tegasnya. Baru dua minggu lalu ia kehilangan putranya, kini mamanya, terlebih karena menyelamatkan istrinya sendiri.

“Daddy.” Panggilan itu membuat aktivitas Abbas terhenti. Ia mendongakkan kepalanya. Melihat Safiyya dengan balutan set gamis hitam.

Abbas menegakkan tubuhnya. Ia bangkit, menepuk-nepuk tangannya yang sedikit kotor. Pria berkumis tipis itu menghela napas gusar sebelum akhirnya berkata, “Kenapa?”

Safiyya meremas gamisnya. Anak itu takut untuk bercerita. “Mama gimana?” dengan ragu ia bertanya, meskipun nantinya akan terasa menyakitkan. Safiyya paham. Kehilangan memang menyakitkan.

Seseorang yang dipanggil ‘daddy’ oleh Safiyya membuang muka malas. Bola matanya memutar sebentar. “I don’t care about your mom, right?”

Gadis itu tecengang. Ayahnya benar-benar berubah. “Dad. Mommy is your wife.”

Tak mau berdebat. Abbas merogoh sakunya. Lalu mengeluarkan dompet dan memberikan black card miliknya. “Urus semuanya.”

“Daddy setega itu sama Mama?”

“Safiyya. Mamamu masih di rumah sakit. Dia juga nggak kenapa-napa, sedangkan Mama kamu udah tega kills your grandma.” Safiyya tak paham mengapa ayahnya menyalakan mamanya atas semua takdir ini.

“Ini takdir.”

“Ini nggak akan terjadi kalo Brisa nggak kabur.” Tak mau berdebat. Dengan kacamata hitamnya, pria itu meninggalkan Safiyya tanpa kata. Mulai detik ini. Anak itu membenci ayahnya sendiri.

—————

“Bi Erti.” Anak itu langsung terbangun ketika asisten rumah tangganya datang ke rumah sakit tempat sang mama dirawat.

Wanita itu tersenyum. “Fi. Maafin Bibi, ya. Bibi nggak tau kalau mama kamu dirawat.”

Safiyya menggeleng sambil tersenyum. “Nggak papa, Bi. Tadi Bibi dicari dokter. Fiyya nggak bisa nemuin dokter karena katanya Fiyya masih kecil dan terlalu rumit untuk mengetahui persoalan ini.”

Bi Erti mengerutkan dahinya. “Kenapa, Fi?”

“Bibi ke sana aja, ya.”

Wanita itu mengangguk. “Dokternya ada di mana?”

“Ruang dokter yang rawat Mama nggak jauh dari sini, Bi. Dia ada di dekat ruang lab.” Bi Erti mengangguk, lantas pamit untuk menemui sang dokter.

Pintu putih bersih dibuka wanita itu dengan pelan. Seorang dokter muda dengan sneli yang membaluti dress birunya membuat ia tampak lebih menarik. Apalagi bulu matanya yang begitu lentik. Sepertinya akan menjadi ciri khas tersendiri untuk dokter bernama Anastasya.

“Saya perwakilan dari pasien bernama Brisia Akbar, Dok.” Dokter Anastasya mengangguk. Ia menekan pen tekannya, lantas mengambil kertas putih berukuran A6.

“Kalau boleh tau. Ibu siapanya?”

“Saya ART di keluarga mereka. Sebelumnya mohon maaf, pihak keluarga tidak bisa hadir untuk menjenguk, apalagi suami beliau. Kami sedang berduka. Jadi saya yang mewakilkan.”

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang