Aaron: Syarat

44 13 40
                                    

Orang yang sombong karena duniawi, tak akan pernah berhenti untuk mencari sensasi.

•••••

Speechless. Aku terpaku, terdiam membisu. Apa anak laki-laki yang masuk pada berita itu memang Kak Aaron?

Lamat aku memandangi name tag yang terjahit sempurna di seragam pemiliknya, cukup mulut yang diam, tapi pikiran benar-benar berkelana.

“Lu ... ngapain ke kelas gue?” tanyanya. Seketika aku menatap wajahnya. Lalu menggeleng dengan pelan. Jawaban sudah kutemukan. Aku menunduk permisi, lalu meninggalkan Kak Aaron tanpa kata. Biar saja dia kebingungan, itu pun kalau iya.

Kulenggangkan kaki menuju kelas. Menghampiri Citra yang kini tengah membaca novel adaptasi Wattpad yang baru ia beli kemarin.

“Cit.” Anak itu seketika menutup novelnya, lalu menatapku. “Gue nemuin sesuatu tentang Kak Aaron.” Aku mendudukkan tubuhku di kursi samping tempat yang Citra duduki. Kami sebangku.

“Nemuin apa?” tanyanya sambil meletakkan novel di kolong kecil bawah meja. “Kayaknya serius banget,” lanjutnya.

Aku mengangguk antusias. “Ini bukan kayaknya, tapi emang serius banget.”

“Apa?”

“Semalam, waktu di rumah sakit, gue tiba-tiba pingin cari berita tentang kematian abang gue, siapa tau masuk berita, karena dulu agak booming, lah, ya.” Citra mengangguk. “Nah, tapi, berita yang gue cari nggak ada, adanya berita tentang, kalau nggak salah anak umur empat belas tahun yang selamat dari pembunuhan masal di rumahnya.”

Citra mendelik. “Pembunuhan masal? K–kok gue baru tau?”

Aku menggeleng. “Ya, ceritanya tuh belum tau percis kek mana, tapi yang jelas, anak ini namanya Amin——,”

“Amin? Apa hubungannya sama Kak Aaron?” putus Citra sepihak.

Aku memutar bola mata malas. “Bisa dengerin sampai selesai?” anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Anak ini namanya Amin, dia tinggal sama ayah, ibu, dan kakaknya. Rumah mereka ini dirampok. Nah, saking bejatnya, perampok ini tuh ngebunuh semua orang yang ada di rumah itu. Orang tua dan kakaknya nggak bisa selamat, tapi Amin bisa selamat. Lu tau nggak kenapa dia selamat?”

Citra menggeleng.

“Dia selamat karna sembunyi di kolong meja.”

Punggung Citra seketika menegak. Refleks aku ikuti sambil mendongak ke arahnya. For your information, Citra lebih tinggi 5 centi dariku.

“Berarti ... bisa jadi Kak Aaron adalah Amin.”

Aku mengangguk buru-buru. “Gue juga mikir gitu, dan tadi, gue nggak sengaja lihat name tag di seragam Kak Aaron.”

“Apa nama lengkap dia?”

“Aaron El Amin.”

Citra berdiri sambil menggebrak meja. “Kayaknya itu emang Kak Aaron!” suara Citra sedikit meninggi, aku langsung menarik tangannya supaya duduk kembali. Malu diliat yang lain.

“Bisa pelan-pelan, nggak?” gerutuku. Dia menggeleng sambil terkekeh.

“Gue lanjut nggak nih?” tanyaku kesal. Dia mengangguk. “Nah, beberapa waktu ke belakang, dia, ‘kan emang suka bilang ada yang mau bunuh dia, apa itu dia trauma, ya?”

“Bisa jadi.”

“Tapi belum tentu itu Kak Aaron, Cit.”

“Kalo gue sih yakin itu Kak Aaron, secara perlakuan dia sekarang kayak mengarah sama kejadian perampokan empat tahun lalu.” Aku mengangguk untuk ini. Memang benar, tapi, bisa jadi ini hanya kemiripan belaka.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang