PERNIKAHAN

66 2 0
                                    

Waktu yang telah disepakati kedua keluarga pun tiba. Dua bulan setelah  lamaran,  acara pernikahan diadakan di gedung serba guna milik kompleks perumahan regensi daerah Tanjung Priuk Jakarta Utara. Tempat dimana keluarga pakdhe Danu tinggal. Acara akad berlangsung cukup menegangkan bagiku. Karena ini bukan pernikahan impianku. Hatiku semakin gundah saat tangan bapakku menjabat tangan mas Arkha.

"Saya terima nikah dan kawinnya Salsa Ariyanti binti Andi Lazuardi dengan mas kawin tersebut tunai" terdengar lancar ucapan mas Arkha saat melangsungkan ijab kabul yang diiringi ucapan sah para saksi.

"Sah?" Pak penghulu menanyakan keabsahan ijab dan ditanggapi serius oleh para saksi dan orang- orang yang mengadiri acara tersebut.
"Sah!"
"Sah!"
Lantunan doa berkumandang menghakhiri acara akad dan dilanjutkan dengan penyematan cincin nikah. Kucium punggung tangannya setelah pemasangan cincin selesai dan dia mencium keningku sekilas. Ini adalah pertama kalinya tubuhku disentuh lelaki, suamiku sendiri. Meskipun selama ini aku punya pacar namun aku  selalu menjaga aurat dan kehormatannku.

Berbarengan dengan gejolak hatiku yang belum percaya pada pernikahan ini. Apalagi menerimanya. Seakan-akan duniaku runtuh. Terbayang dalam pikiranku kehidupan keluarga dan rumah tanggaku nanti akan seperti apa? Bahagia atau sebaliknya. Meskipun dulu aku bermimpi dan berharap  pernikahanku bahagia dan cukup sekali seumur hidup dengan orang yang kita cinta karena pernikahan adalah hal yang sakral dan suci. Mungkinkah ini berlaku sekarang?? Tak berasa mataku mulai berkaca dan menitikkan air mata. Air mata kesedihan, bukan air mata haru atau bahagia seperti praduga orang yang melihatnya. Segera kuseka mataku sebelum mereka tahu dengan senyum yang terkesan bahagia.
Mungkinkah pria disampingku merasakan hal yang sama? Karena di tempat akad inilah kami baru pertama kalinya bertemu. Dan kuperhatikan sejak acara dimulai  hanya diam membisu tak mengeluarkan sepatah kata pun sampai sekarang.

Acara yang sangat melelahkah pun  harus aku lalui. Resepsi pernikahan.
Keluarga Pakdhe Danu Sasongko dan Budhe Hani Pratiwi sudah berdiri berderet di pelaminan samping kanan singgasana pengantin. Ibu dan bapakku berdiri tepat di sebelah kiri  aku berdiri. Kedua keluarga mengapit dua mempelai pengantin sambil berdiri menyambut para tamu yang berdatangan. Dengan senyum sumringah para orang tua meyalami tamu undangan dan tak jarang pula mereka tertawa bahagia memeluk beberapa kerabat atau sahabat dekat mereka. Seolah-olah kebahagiaan ini milik mereka. Mereka tidak mengerti perasaan dan hatiku. Aku seperti boneka yang tersenyum tanpa ikhlas. Gaun pengantin muslimah warna putih yang  melekat dibadanku sangatlah cantik namun tak selaras dengan pancaran wajahku yang tersirat kesedihan dan tidak bahagia.
Mungkin apa yang aku rasakan sama dengan apa yang dirasakam oleh pria yang berdiri disampingku yang sekarang sudah sah menjadi suamiku. Dengan setelan jas warna hitam elegan menyiratkan ketampanannya. Dia hanya diam dan sesekali tersenyum tanpa bicara sepatah kata pun. Aku tahu itu adalah senyum kepalsuan yang tersungging saat menyambut dan menyalami tamu undangan, walaupun sebagian besar tamu yang datang adalah undangan dari pihak keluarga suamiku. Namun aku perhatikan sikap suamiku tidak bahagia. Sesekali temannya ada yang menggodanya pun dia hanya tersenyum kecut. Aku pun tahu apa yang dia rasakan. Namun mengapa dia tidak menolak pernikahan ini. Apa yang sebenarnya terjadi??

Waktu bergulir cukup lambat meskipun pada akhirnya pesta pernikahan selesai. Kami kembali ke rumah budheku yang sekarang telah menjadi mertuaku. Aku cukup merasa lega. Sebentar lagi aku bisa istirahat dan bebas. Namun aku bingung dimana aku harus merebahkan badanku yang lelah ini. Aku hanya bisa duduk di sofa ruang keluarga sambil meluruskan kakiku yang pegel. Saudara-saudaraku dan orang tuaku sudah beristirahat lebih dahulu. Hingga akhirnya budheku menghampiriku.
"Salsa, kok nggak istirahat? Cepat ganti bajunya!"
Aku mengangguk kebingungan.
"E..em tempat gantinya dimana budhe?" Tanyaku nyegir.
"Ya di kamar kalian, kamar mas Arkha." Jawab budhe dengan senyum lucu karena pertanyaanku.
"Ayo buhde anterin." Ajaknya sambil menggandeng tanganku menaiki tangga menuju kamar peristirahatan.
"Masuk dan istirahatlah. Masmu mungkin sudah ada didalam. Semua perlengkapan kamu sudah mama siapkan" Perintah budhe setelah sampai didepan sebuah kamar yang ditunjuk.
"Terima kasih budhe" ucapku sambil membungkukkan kepala.
"O ya, jangan panggil budhe lagi, panggil mama mulai sekarang ya."
Senyum budheku mengembang dibarengi anggukan kepalaku.

Tok
Tok
Tok

Aku mencoba mengetuk pintu kamar yang tadi ditunjukan oleh budheku. Tak ada sahutan. Mungkin tidak ada orangnya di dalam kamar tersebut.
Akhirnya aku ulangi dengan mengucap salam..

"Assalamualaikum. .." handle pintu aku pegang dan pintunya terbuka.

Ceklek

"Maaf mas bolehkah aku masuk?" Mas Arkha sudah berdiri di ambang pintu.

"Ya." Cuma kata itu yang aku dengar dari mulutnya bikin aku makin canggung aja.

Kulangkahkan kakiku melewati pintu kamar yang terhalang tubuhnya hingga dia mundur selangkah memberikan jarak. Betapa takjubnya aku saat melihat keadaan kamar itu. Bagus, bersih, wangi, dan besar sekali ruangannya. Jauh berbeda dengan kamarku di rumah orang tuaku. Aku langsung memarkirkan pantatku di sofa yang ada dikamar tersebut. Aku bingung mau rebahan di ranjang ada mas Arkha yang lebih dulu menempatinya. Dan ini adalah  pertama kalinya aku berada dalam satu kamar dengan seorang pria. Ini pun status kami sudah halal.

"Mas, bolehkah aku numpang ke kamar mandinya?" Tanyaku canggung dan sedikit gugup.

"Hemm" jawabnya singkat tak bergeming tanpa menatapku.
Selesai membersihkan badan aku keluar kamar mandi. Aku menggunakan gamis navi dan kerudung syari instan warna pink yang sudah aku siapkan dari rumah sebelum pernikahan di Jakarta. Aku belum berani mencari atau menyentuh apapun yang ada di dalam kamar itu walaupun kata budhe semua perlengkapanku sudah tersedia.
Aku rebahkan badanku di sofa dan mencoba memejamkan mata. Terasa nyaman dan lega sekali walaupun masih belum dibilang nyaman dan aman. Kuabaikan sementara kecanggungan ini karena rasa lelah dan kantukku sudah berat sekali.

Entah berapa lama aku teridur, badanku pegal semua karena tidur di sofa. Kulihat jam dinding yang tergantung di kamar itu sudah menunjukkan pukul 18.30 wib sambil merenggangkan otot bahuku.  Berarti aku terlelap hampir satu jam setengah. Sholat maghrib sudah hampir habis waktunya. Buru-buru aku ambil wudhu dan mengerjakan ibadahku yang terlambat hingga aku melupakan keberadaan mas Arkha yang masih terlelap.

"Mas.. bangun, sholat maghrib dulu!" Kuberanikan berbisik  lirih dekat telinga suamiku.
Dia hanya menggeliatkan badan dan tidak bergeming lagi. Aku mencoba membangunkannya lagi dengan sedikit menggerakan punggungnya pelan. Aku sedikit canggung namun demi menjalankan kewajiban  kepada Allah aku terpaksa menyentuhnya.

"Berisiiikkk!" Bentaknya membuat nyaliku ciut. Niatku tidak surut walau aku sedikit kaget dan tersinggung. Pada akhirnya dia terbangun karena suara ketukan pintu kamar.

"Tok tok tok"

"Arkha, Salsa makan malam dulu sayang....!"
Suara ibu mertuaku dari balik pintu kamar kami yang masih tertutup.

"Iya mah, sebentar..." sahutku sambil membuka pintu. Nampak punggung mamah balik badan.
Aku segera turun mengikuti langkah mamah yang sudah jauh sampai di meja makan. Aku segera duduk disamping mamah dengan perasaan canggung. Baru kali ini aku makan bareng keluarga budheku karena selama ini kami hidup terpisah. Kami hidup di kampung sedang mereka hidup di kota besar, jakarta yang penuh hiruk pikuk.
Dan kami jarang berkomunikasi atau berkumpul keluarga.

"Arkha kemana Sal, kok gak ikut turun?" Tanya pakdhe menatapku yang terlihat bingung.

"Belum berubah juga tuh anak! Hem. ." Ucapan pakdhe kemudian.

"Mah, suruh Arkana turun!" Perintah Pakdhe  kepada istrinya.

"Ada apa sih pah? Malam-malam
Masih berisik  aja. " Ketus Arkana sambil menaruh pantatnya di kursi samping papanya. Kami duduk berhadapan. Aku hanya diam tak berani menatapnya. Sikapnya tadi masih membekas di benakku. Kasar dan kurang sopan pada orang tua.  Acara makan pun dimulai setelah mamah menyendokan nasi serta lauk ke piring papah dan mamah. Diikuti  aku yang mulai menyendokan nasi ke piring mas Arkha sesuai  keinginan mamah.  Tapi ditampik oleh mas Arkha. Akhirnya  aku mengambil nasi dan lauk untukku  sendiri. Kulanjutkan  makan tanpa bergeming sedikitpun.  Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sejak kedua orang tuaku dan kerabatku undur diri pulang ke kampung tanpa memberitahukan kepadaku, kini aku harus  tinggal  dengan keluarga  mertuaku.

"Pah, mulai besok kami mau  pindah ke apartemenku" Ucap mas Arkha setelah selesai menyantap makanannya. Ucapan yang bernada pemberitahuan itu diangguki langsung oleh kedua orang tuanya.  Aku belum bisa membayangkan kehidupanku bersamanya di tempat yang  baru nanti. Hidup dalam satu atap dengan orang yang baru sekali  ditemui di hari pernikahan tanpa mengenal pribadinya.

BUKAN PERNIKAHAN IMPIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang