CHAP 01 🍭İmperative

88.4K 8.4K 104
                                    

Ramaikan dengan komen kalian♡
Siap baca chapter 1?

Ramaikan dengan komen kalian♡Siap baca chapter 1?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita harus pindah."

"Uhuk uhuk uhuk!!" Aluna hampir saja mengeluarkan kembali makanan yang sudah dia suapkan ke dalam mulutnya. Topik pembicaraan ayahnya kali ini sangat tidak lucu. Bagaimana jika Aluna mati di umur ke delapan belasnya karena tersedak?!

"Pelan-pelan dong, Luna. Ayah juga nggak nyolot." Pria paruh baya yang duduk di samping Aluna itu mengelus punggung putri semata wayangnya, setelahnya dia tersenyum melihat Aluna menatapnya tajam.

"Bukannya nyolot apa gimana, tapi ucapan ayah barusan ngagetin. Maksud ayah mau pindah apa? Rumah? Kok mendadak?"

Danis, atau ayah dari Aluna itu tersenyum tipis, menunjukkan beberapa keriput wajah yang sudah dia miliki. Bukannya langsung menjawab pertanyaan anaknya, Danis malah dengan santainya menyuapkan nasinya ke dalam mulut, lalu meneguk air putih hingga tandas tak tersisa di dalam gelas. Itu semua sukses membuat kedua pipi Aluna memerah, menahan kesal karena pertanyaannya merasa diabaikan.

"Kehidupan itu seperti roda. Berputar. Ada kalanya di bawah, ada kalanya di atas," ucap Danis dengan suara tenang. Dia bisa melihat anaknya itu mengernyit, tidak mengerti dengan maksud Danis. "Perusahaan ayah gulung tikar, Luna."

"Eh?" kedua mata Aluna mengerjap, keningnya langsung mengerut dalam saat mendengar jawaban yang tidak dia sangka akan keluar dari mulut ayahnya. Tidak dapat dipungkiri, otaknya masih loading. Namun begitu paham, Aluna terdiam di tempatnya. Terkejut mendengar kabar yang tidak bisa dibilang kabar bahagia ini.

"Ayah mau bilang dari kemarin, cuman kemarin kamu lagi main sama temen, jadinya ayah tunda. Mungkin sekarang hidup kita emang lagi ada di bawah, Luna. Maafin ayah, ya?"

Bibir Aluna terkatup rapat, tangan kanannya yang sedang memegang sendok pun turun ke bawah, meremat rok seragam yang dia gunakan.

"Aluna?"

"Gak papa, Ayah." Aluna mendorong kursinya ke belakang, membuat tubuhnya berdiri menghadap ayahnya. Kemudian dengan cepat dia melingkarkan kedua tangannya pada pundak Danis. "Jangan minta maaf sama Luna. Luna nggak papa, malah Luna takut kalau ayah kenapa-napa. Luna takut kalau ayah mau kirim Luna ke ibu, Luna mohon jangan, Yah. Luna nggak mau. Luna mau sama ayah aja! Luna janji mau ikut ke mana aja, asal sama ayah!"

Danis terdiam untuk beberapa saat. Perkiraannya tadi adalah, Aluna pasti akan menangis, atau mungkin langsung pergi meninggalkan Danis sendirian di meja makan. Namun tidak sesuai dugaan, anaknya malah berucap semanis ini.

Danis membalas pelukan Aluna, tak kalah hangat dan erat. "Kamu pikir ayah mau biarin kamu pergi gitu aja? Nggak dong. Cuman ayah khawatir aja, takut kalau nanti--"

"Gak papa, Yah." Aluna langsung memotong. "Luna bisa cari kerja. Jadi penjual koran, apa jualan bunga, atau pelayan cafe, apapun itu pasti Luna bantu ayah buat sekarang."

Danis terkekeh, kepalanya menggeleng. "Kamu udah kelas dua belas, jangan kerja. Fokus aja sama nilai kamu biar masuk PTN."

Aluna mendengkus. Tidak. Aluna tidak akan membiarkan ayahnya bekerja sendirian jika keadaannya sudah seperti ini. Sekarang ayahnya juga pasti membutuhkan dukungan, Aluna tidak mau jika ayahnya memaksakan diri. Aluna takut akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada Danis.

"Pokoknya Luna mau kerja. Ayah lihat aja nanti! Aluna bakalan bisa sekolah sama uang Luna sendiri. Biar ayah nggak repot lagi."

Danis tersenyum menanggapi. Tidak ada gunanya memaksa Aluna yang keras kepala, jadinya dia hanya mengangguk dan mengecup kening anaknya.

Danis bersumpah, bangkrutnya perusahaan bukanlah atas kecerobohan atau kelalaian para pekerjanya.

Hanya saja, ini kelicikan dari Nandia.

Mantan istrinya, atau sebut saja ibu dari Aluna yang sudah tega meninggalkan mereka berdua.

🍭

Aluna menarik dua koper berisi barang-barang dan pakaiannya menuju rumah berwarna oranye tua. Dia melihat Danis membuka pagar besi setinggi dada, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu berwarna coklat yang besarnya bahkan tidak bisa dibandingkan dengan rumah lama Aluna. Pintu ini bisa dibilang kecil jika Aluna mau mengomentari.

Setelah Danis membuka pintu dan masuk ke dalam rumah minimalis itu, Aluna juga langsung mengikuti. Dirinya menatap sekeliling dengan lesu.

Ini jauh sekali dengan rumahnya yang dulu.

Jika dulu dia akan melihat barang serba mewah, sofa nyaman, dan lampu besar menggantung di atas. Maka sekarang tidak. Dia hanya melihat beberapa kursi sederhana, lemari untuk pajangan, dan selebihnya kosong.

"Ayah, ini ada dua lantai 'kan?" tanya Aluna sambil melirik tangga kecil di ujung ruangan.

Danis mengangguk. "Iya, di lantai dua cuman buat kamar aja. Kamu mau di sana?" tanya Danis agak ragu, takut jika Aluna akan menangis karena tidak suka.

"Sip! Luna di sana aja." Aluna menarik dua kopernya lagi, langsung menuju lantai atas menggunakan tangga. Meninggalkan Danis yang hanya menghela napas pelan dengan pandangan lelah terpancar di kedua bola matanya.

Perjalanan barusan melelahkan, apalagi mobil Danis disita pihak bank, jadinya mereka ke sini menggunakan bus umum.

Tidak pernah terbayangkan, sosok Aluna naik bus. Pantas saja Aluna langsung muntah saat turun dari kendaraan panjang itu.

"Haah ... ternyata bener ya. Kehidupan itu memang berputar." Aluna bergumam, dia merebahkan dirinya di tempat tidur sederhananya lalu memejamkan mata. "Gue berharap ini mimpi."

---🍭

Siapa yang gaak sabar ketemu İo?
Pelan-pelaan, tenang, İo udah duduk di pojok, tinggal dipanggil!

Nanti update lagi! Ditunggu yaa!

Baby İoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang