CHAP 26 🍭İncrease

31.6K 4.1K 51
                                    

Mobil sport hitam itu sudah menjauh, meninggalkan komplek rumah yang baru saja dikunjungi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil sport hitam itu sudah menjauh, meninggalkan komplek rumah yang baru saja dikunjungi. Pemgemudi mobil di dalamnya kini melajukan kecepatannya lebih cepat, menerobos jalanan kala deringan dalam ponselnya berbunyi. Dia mengambil handsfree, memasangkannya pada telinga sebelah kiri.

"Ke TKP, sekarang."

Itu panggilan yang sebulan ini selalu dia terima dari rekannya. Ada urusan yang harus diselesaikan, dan itu bersangkutan dengan apa yang dia lakukan.

"Yaa."

Sesuai instruksi, lelaki itu berbelok ke arah kanan, memutar balik arah. Kurang dari setengah jam, dia sudah bisa melihat tempat yang dimaksud oleh penelepon. Tidak langsung keluar dalam mobil, dia mengenakan hoodie untuk menutupi seragamnya, tudungnya dikenakan, sebagai pelengkap, masker wajah juga dipasang.

Semuanya siap, dia turun dari dalam mobil yang terparkir di dekat toko pakaian yang tutup. Di depannya, sudah ada 2 orang polisi yang menatapnya dengan tatapan tajam. Sementara di belakangnya, terdapat garis kuning yang membentang menghalangi, yang menjadi pertanda tidak boleh ada orang yang melewatinya.

"Maaf, apa Anda ada urusan di sini?" dua polisi di sana menghampiri, menatap heran pada lelaki yang baru saja datang. "Jika benar, jalan ini sudah ditutup. Semalam terdapat kasus pembunuhan, tempat sedang dalam penyelidikan."

Lelaki dengan hoodie itu mengangkat wajahnya, melihat ke jalan yang ditutup oleh pihak berwajib. Dia tidak mempedulikan apa yang sudah dikatakan polisi padanya, dengan santai dia melangkah mendekat pada garis kuning. Tangan kirinya menyentuh ujung tudung hoodie, sedikit mengangkatnya agar tidak menutupi pandangan. Pandangannya mengedar, meneliti setiap sudut. Lantas menyeringai.

"Oh, masih di sini." Dia bergumam, seraya mengerutkan alis. Masih tidak mempedulikan dua polisi yang menatapnya penuh tanya.

"Kami tanya sekali lagi, apa Anda ada urusan di sini?"

Lelaki tadi menoleh, seringai dibalik tudung hoodie-nya kini terlihat jelas. "Jika tidak ada, untuk apa saya ke sini?"

🍭

Berdiam diri sambil menonton televisi di ruangan yang baru satu hari di tempati menurutnya agak aneh. Biasanya, sesudah pulang sekolah dan berganti baju, dia akan menuju rumah Luis, menyuapi Kelio bubur bayi yang setiap harinya berbeda rasa, selanjutnya menyuapinya buah-buahan segar. Dari sana pun dia belum bisa beristirahat karena mengerjakan tugas bersama, setelahnya mengajak Kelio bermain roket dan berlarian di sekeliling rumah.

Berbeda dengan sekarang, Aluna hanya diam dan melihat acara yang belum pernah dia tonton. Rasanya aneh dan asing. Aluna tidak pernah bersantai-santai setelah mengerjakan tugas, Aluna juga tidak terbiasa dengan tidur siang. Ternyata, efek Kelio memang sedalam ini. Aluna hanya bisa melamun dan terus memikirkan apa yang akan dia lakukan mulai detik ini.

Masalah ekonomi keluarga sudah terselesaikan oleh Danis yang bekerja, Aluna seharusnya tidak cemas lagi. Tapi, Aluna tetap tidak tenang. Bagaimana nasib pekerjaannya? Setelah sebulan penuh Kelio menjalani terapi, bisakah Aluna kembali pada lelaki itu? Atau mungkin Kelio bisa sembuh dan Aluna tidak akan diperlukan lagi.

Seharusnya, Aluna senang jika Kelio sekarang lebih fokus pada terapi, pasti lelaki itu akan cepat sembuh. Masalahnya, ada sesuatu dalam diri Aluna yang tidak terima, tidak siap jika harus kehilangan sosok lelaki yang mengajaknya bermain masak-masakan sejak pertama kali bertemu. Aluna juga tidak siap jika Kelio memanggilnya dengan nama 'Aluna' bukan 'Una'.

Melihat layar ponsel untuk yang kesekian kali, Aluna belum menerima pesan dari Ethan. Aluna sangat mengharapkannya. Aluna ingin Ethan memberitahunya tentang kabar Kelio hari ini, aktivitas apa yang Kelio lakukan, dan bagaimana keadaannya setelah terapi. Tapi Aluna sadar, dia dalam kehidupan Kelio itu sebatas pengasuhnya, sekaligus teman bermain, tidak lebih. Aluna tidak harus mengharapkan Ethan melakukan itu semua bukan?

Menghela napas kasar, Aluna bangkit dari posisi duduknya yang sedang menghadap televisi, melangkah keluar dari rumah. Aluna rasa, dia tidak akan bisa melupakan hal yang berhubungan dengan Kelio jika dia tidak beraktivitas atau mencari kesibukan. Dengan pakaian casual, serta ponsel di genggaman, Aluna hendak pergi, mungkin menuju ke taman atau bisa saja mall.

Menggunakan taksi, Aluna sudah menapakkan kaki di tempat keramaian. Aluna melangkah ke dalam mall. Sebaiknya dia membeli sesuatu yang dia suka, dan berjalan-jalan bebas sendirian di sini, tanpa ditemani atau menemani.

Melangkahkan kaki menuju eskalator, Aluna hendak bermain game saja, bermain sendirian tampaknya tidak terlalu buruk. Hanya saja sesuatu di belakang Aluna, menepuk pundaknya membuat Aluna menoleh.

"Aluna, sendirian?"

Kening Aluna berlipat, alisnya menekuk membuat matanya memicing tajam. Tidak ada harapan sama sekali jika dia harus bertemu dengan sosok yang paling dia hindari di tempat umum seperti ini. Mencoba mengabaikan, Aluna menaiki tangga eskalator satu persatu walaupun keadaannya masih melaju. Dia benar-benar tidak mau melihat sosok itu.

"Aluna! Aluna ini--"

"Maaf, saya tidak punya urusan dengan Anda, biarkan saya pergi, bisa?" Aluna menepis tangan yang menariknya, namun sosok itu kembali memegangnya, kini lebih erat.

"A--"

"Apa, sih?! Saya tidak ada urusan dengan Anda!" Aluna melotot, melihat dua lengannya yang ditahan dengan kencang.

"Tidak sopan, Aluna. Selama ini Danis mengajarkan apa saja pada kamu? Kasar sekali, ini Ibu!" wanita di depan Aluna berkata dengan keras, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh penasaran. "Kamu tidak ingat dengan Ibu, hah?!"

Aluna memutar bola matanya. Niatnya pergi ke mall hanya untuk mencari kegiatan, bukannya mengingat masa lalu. "Sejak Anda ninggalin saya dengan Ayah, saya tidak punya hubungan lagi dengan Anda. Apa jawaban saya kurang jelas?"

Nandia, ibu kandung Aluna yang sudah meninggalkan anaknya dan Danis begitu saja. Walaupun wajah wanita itu tidak lagi Aluna ingat, tetapi begitu melihat matanya dan mendengar suaranya, tubuh Aluna refleks menjauh dan tidak suka dengan kehadirannya. Perasaannya ingin terus menjauh dan terasa sesak. Perasaan di mana dia sudah memutuskan jika dia benar-benar membenci Nandia. Sekarang, entah kenapa mereka bisa bertemu, di tempat ramai seperti ini.

"Oh, kamu benar-benar kasar, Aluna." Nandia kini bersidekap dada, melepaskan cengkeramannya. "Ada sedikit penyesalan kenapa Ibu membiarkan kamu hidup dengan lelaki itu."

Aluna berdecih. "Asal Anda tahu, jika saya hidup dengan Anda, saya yang akan menyesal untuk selama-lamanya. Sudah tidak ada urusan lagi? Saya ingin pergi." Aluna berbalik, hendak meninggalkan Nandia di sana, tetapi wanita tadi kembali menahannya.

Nandia mendekat pada Aluna. "Terserah jika itu mau kamu, Aluna. Ibu tidak akan ikut campur apapun lagi, termasuk dengan keluarga kamu. Ibu sudah membuka kesempatan agar ayah kamu bisa bekerja. Tidak usah khawatir," ucapanya kemudian tersenyum, merendahkan. "Yaa, kalau tidak oleh ibu, siapa lagi yang bisa membuat lelaki itu mencari uang?"

"Bodo amat!" Aluna menyentakkan tangan Nandia, lantas pergi menjauh secepat mungkin untuk meninggalkan wanita itu. Wanita yang dia benci, tetapi membuat air matanya mengalir dalam langkah yang dia ambil.

----🍭

Yang kangen İo siapaa nihhh??
Besok mau lanjut ke İo nggak?

Maaf ya baru bisa update lagi
Semoga besok İo sama Una bisa menyapa♡

Baby İoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang