8| GONE

627 80 18
                                    

🌻🌻🌻



16 Oktober.

Inupi tersenyum pahit menatap foto keluarga yang terbingkai di atas nakas samping tempat tidurnya. Senyum seorang anak laki-laki yang tengah merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh itu terlihat sangat bahagia, berbanding terbalik dengan senyum getirnya saat ini.

Dinginnya udara malam yang berembus melalui celah ventilasi rumahnya terasa menusuk, Inupi merebahkan badannya dan mencoba untuk tertidur, mencoba untuk melupakan kesedihannya hari ini. Ya! Hanya mencoba untuk lupa!

Siang tadi dia berkunjung ke rumah Koko dan mendapati sahabat yang telah mencuri hatinya itu tengah tertidur. Senyum Inupi siang itu pudar dikala Koko mengigaukan nama sang kakak, pemuda itu meracaukan Akane di dalam tangisnya serta menanyakan mengapa Akane yang harus pergi saat itu.

Hati Inupi seakan tertusuk melihat bagaimana kacaunya Koko di alam bawah sadarnya. Perasaan bersalah yang selalu menghantuinya semenjak kebakaran itu kian memekat dan membuatnya sesak nafas. Bahkan hingga kini sesak itu tak kunjung hilang dan Inupi pun hanya mampu meredam tangisnya di balik bantal.

Tidur nyenyak yang diharapkannya pun tak terjadi, seolah alam mimpi pun ingin turut menyiksanya. Di bawah sebuah pohon yang menggugurkan daun-daunnya, Akane tersenyum hangat dan nampak cantik dalam balutan gaun kuning kesayangannya, hanya saja Inupi tidak mampu merasakan kehangatan seolah rasa hangat itu hanya milik sang kakak seorang.

Inupi kedinginan dan dia membeku di sana, dia hanya bisa melihat kakaknya yang menari-nari di bawah gugurnya dedaunan, bersamaan dengan kehadiran kedua orang tua mereka. Inupi ingin berlari menghampiri mereka bertiga, namun kakinya yang melangkah seolah membuat ketiga orang terkasihnya itu semakin menjauh, Inupi tahu, dia ditinggalkan!

Bangun dari mimpi kelamnya, Inupi mendapati jika bantal yang ia pakai sudah basah oleh air mata. Ini masih tengah malam, bahkan jarum jam pun belum mengganti hari. Kembali pemuda itu meneteskan air mata sebelum kembali terpejam.

"Kalian tidak akan kembali! Kalian tidak mau kembali tetapi kalian juga tidak mau mengajakku." gumamnya yang hanya didengarkan oleh desau angin.

17 Oktober.

Pagi menampakkan cerahnya hari ini, namun Inupi tidak mampu mengubah muramnya hati. Sejujurnya suhu badannya pagi ini terasa lebih tinggi dan kepalanya terasa berat. Ketika dia menatap pantulan wajahnya di cermin, nampaklah wajah pucat dengan bibir kering tanpa rona, namun Inupi tetap bersiap-siap karena hari ini dia memiliki janji dengan Koko.

Karena dia tidak tahan dengan rasa peningnya, Inupi lantas membuka laci nakas dan mencari Paracetamol dan membawanya ke dapur untuk mengambil air minum.

Setelah Inupi meminum obatnya dan berniat untuk membuat sarapan, di lihatnya sekantung umbi bit merah pemberian Izana tempo hari. Dia teringat jika Akane kerap memakan bit merah dan mengoleskannya di bibir hingga bibir sang kakak selalu nampak cantik meskipun gadis itu tidak merias wajahnya.

Tanpa berpikir dua kali, tangannya bergerak meraih beberapa umbi dan membersihkannya dengan air sebelum mengukusnya. Setelah matang, Inupi pun menyantap umbi bit merah itu dengan lahap, namun ketika dia selesai makan, sesak yang sempat dirasakannya kemarin kini muncul lagi.

"Kenapa aku jadi seperti Onee-chan?" pikir Inupi sembari menatap jemarinya yang berwarna kemerahan.

"Ah! Tentu saja! Aku kan adik Onee-chan."

Inupi tidak mau memikirkan hal-hal aneh lagi, sudah cukup kepalanya pening karena jalan pikirannya sendiri dan dia tak ingin memperparahnya.

Selesai mencuci tangan, Inupi bercermin sekali lagi. Wajahnya sudah tak nampak sepucat tadi, mungkin karena dia sudah makan dan juga efek dari warna umbi bit yang tertinggal di bibirnya. Sekarang dia sudah siap untuk pergi dan kini waktunya untuk kembali bertingkah ceria seperti biasanya.

KokoNui Corner Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang