Ia menyukai musim dingin atau sebut saja chionophile. Bahkan ia terlahir di negri beruang merah yang terkenal akan musim dinginnya nan ekstrim dan karena itu pula ia memiliki ketahanan terhadap suhu dingin yang lebih baik.
Larasatya Alishia Young, gadis yang mendapatkan darah Korea dari sang ayah, Andy Young. Menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian ketika pertama kali bersekolah di Indonesia, tentu parasnya yang menawan ditambah sifatnya nan ramah membuat siapa saja ingin dekat dengannya.
Meski sosoknya begitu ramah, berpestasi hingga aktif di berbagai organisasi untuk kehidupan pribadinya ia sangat tertutup. Ia sangat mudah membagi senyuman seperti halnya menyembunyikan perasaan sedih yang selama ini tertanam di hatinya.
Semua bermula dari kepindahannya dari Rusia ke Indonesia. Laras pikir tidak akan adanya rasa itu hingga ia harus menerima segala kegetiran yang bersumber dari keluarga ibunya.
Rasis? Diskriminasi? Entahlah, ia hanya bisa terdiam menerima perlakuan verbal dari sepupu hingga neneknya sendiri.
Ke mana ia mengadu?
Orang tuanya tak berkutik, bahkan adik perempuan beberapa kali mendapat kekerasan kecil dari sepupunya dan betapa menyakitkannya lagi, sang ibu mendapat perlakuan tidak jauh berbeda. Penolakan besar dan memaksa dirinya bertahan selama bertahun-tahun.
Pengacara, jaksa, pejabat hingga pembisnis, itulah profesi yang umum dipilih keluarga itu. Sedangkan ayahnya adalah seorang produser sekaligus penulis naskah dirasa tak sebanding dengan keluarga itu.
"Maafin ... Mama sama Papa yang nggak bisa ngelindungin kalian." Kata-kata yang cukup sering ibunya lontarkan saat orang-orang itu menyinggung betapa rendahnya bagi mereka profesi ayahnya.
Apakah berkecimpung di dunia seni adalah kejahatan?
Ia tak ingin mengakuinya, tetapi perasaannya tidak bisa lagi untuk dibohongi. Laras tak menyukai keluarga dari pihak neneknya itu, tetapi ia tak memiliki kekuatan untuk melawan bahkan untuk sekedar angkat bicara. Selalu saja terdiam menerima perlakuan tak menyenangkan dari mereka.
Ketangguhannya terlalu lemah, lisan mereka berdampak besar menusuki batin. Ia berakhir pada satu keputusan yang tak terlalu ia inginkan, memaksa untuk beradaptasi untuk menghindari serangkaian kata-kata menyakitkan dari orang-orang tersebut. Berkali-kali ia goyah dan dirinya dibuat gelisah mengenai apakah ini adalah keputusan yang benar-benar tepat atau hanyalah sesuatu yang menambah luka baru.
Laras terjebak di jalan penuh duri di setiap sisinya. Impian dipertaruhkan karena mulut berbisa orang-orang. Walau orangtuanya selalu menyemangati dan tidak memikirkan perkataan orang-orang tersebut, tetap saja dirinya tak mampu mengabaikan rasa sakit yang selalu ditimpakan pada ibu dan ayahnya.
Patriarki masih sangat kental menyelibungi keluarga tersebut, itu bermula setelah kakeknya meninggal dunia dan ibunya anak perempuan satu-satunya. Mereka juga tidak menyukai orang asing seperti Andy Young.
"Keluarga adalah rumah terbaik," ujar mereka yang tidak merasakan apa yang Laras rasakan.
Senyum manisnya seolah hanya sekedar formalitas. Menutupi kesedihan yang ia pendam seorang diri. Laras terlalu enggan untuk membaginya pada orang-orang yang masih peduli. Kesedihan adalah sesuatu yang sangat sukar ia bagi. Ia dapat menjadi pendengar yang baik, tetapi tidak untuk dirinya sendiri.
Hal yang paling ia rindukan bukan pada kehangatan keluarga itu, karena ia tak pernah merasakannya di sana. Laras merindukan suasana ramainya Indonesia, teman-teman sealumninya, bahkan sampai teringat junior-junior ajaib yang dulu suka sekali menciptakan keributan.
"Enggak biasanya nilai kamu turun, Ras," ucap Risa Ariana salah seorang teman sekelas Laras di Fakultas Kedokteran.
"Kamu juga nggak biasanya ikut-ikutan menurun," balasnya dan tertawa renyah. Entah berapa lama ia melamun, Laras harap Risa tak menyadarinya.
"Ngeledek ya kamu?" Risa ikut tertawa. "Kelas si killer emang mematikan, Ras. Masa yang selalu ngumpul tugas tepat waktu kayak kamu nilainya juga ikutan rendah, itu orang kayaknya males ngajar," bisiknya dengan nada mengejek.
"Dia memang tidak niat mengajar, hanya pencitraan."
Kafetaria cukup sepi sekarang. Membuat kedua gadis itu kompak menoleh dan mendapati pemuda yang tengah berdiri di sisi kiri meja dan bergabung dengan mereka begitu saja tanpa permisi.
Sejenak logat bahasa Indonesia pemuda itu mengingatkan Laras pada seorang juniornya yang berdarah Inggris, Stefan Leander.
"C'est juste une image,"
ujarnya dalam Bahasa Perancis, bahasa yang banyak dipakai di Montreal.Risa mengernyit heran, ia tak terlalu mengerti ke mana arah pembicaraan.
Lagipula sejak kapan Laras dekat dengan jelmaan balok es berjalan ini?
"Terima kasih untuk kemarin."
Laras mengangguk dengan seulas senyum tipis. Sungguh pemuda itu sangat aneh dan unik, sering muncul di dekatnya dengan ekspresi yang tak bersahabat bagi orang lain. Namun, di mata Laras ia sama sekali tidak menganggapnya sebagai ancaman, mungkinkah karena peristiwa yang ia saksikan kemarin?
"Aneh, Ras. Kok bisa-bisa kamu pacaran sama balok es berjalan?" Ekspresi Risa sangat serius dengan pandangan terarah pada Laras. "Ganteng banget sih, tapi bisa makan hati kalau sedingin dia."
Laras tersedak. Komentar Risa terhadap apa yang baru dilihatnya kadang sungguh di luar dugaan dan mana sempat ia memikirkan sebuah hubungan yang biasa dirasakan muda-mudi pada umumnya itu.
"Dia yang nemuin kartu aku yang hilang, teman sekelas Violet, namanya Callum Marshall," jelasnya menampik dugaan Risa.
Sebuah keajaiban agaknya ketika Stella memiliki nilai yang tak kurang dan tidak lebih. Sedangkan Violet dan Laras berkutat pada beberapa tugas untuk menutupi kekurangan pada nilai mereka.
Biasanya Violet langsung pulang setelah kelas usai, tetapi sekarang adalah waktunya jatah jam kerjanya dimulai. Sekitar sebulan yang lalu dosennya, Dasha Bykov tiba-tiba menawarinya sebuah pekerjaan yang cukup sederhana. Yaitu menjadi teman belajar seseorang, terbilang aneh pada awalnya, karena wanita itu mendekatinya secara tiba-tiba.
Setelah ia berpikir cukup lama, kesempatan itu sayang untuk diabaikan. Terlebih Violet membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Tepatnya dilatar belakangi oleh keterpaksaan, mungkin juga tidak keberdayaan. Keputusannya diambil secara mendadak tanpa ada niatan memberitahu Laras maupun Stella.
Violet terlihat mandiri sekaligus kesepian dari sudut lain. Ia salah satu korban siksaan hidup nan menyakitkan, keadaan memaksanya dirinya untuk bertahan dengan segala kejutan yang berdatangan.
Ia menghela napas dengan mata tertuju pada gerbang dan pagar nan begitu tinggi hingga menutupi rumah di baliknya. Tanaman merambat turut menghiasi layaknya benteng alam.
Ada dua cctv di kedua sisi gerbang yang terbuat dari kayu berpahat rumit lantas saat ia menekan bel di sisi kanan tak jauh dari kotak surat, gerbang bergeser dengan sendirinya.
"Vio, Ayah baru saja mengirimimu uang. Semoga itu cukup."
Tersenyum miris di antara langkah nan tegas. Hijaunya halaman yang menyambut sama sekali tak mampu meredamkan betapa bencinya serangkaian perhatian yang dirasa palsu seperti itu. Hatinya bak membeku, tertutupi oleh lautan kelamnya kebencian. Violet tak peduli lagi atas perhatian ayahnya, entah benar-benar tulus atau sekedar berbasa-basi. Ia mulai jengah.
Bersambung
28 September 2021Edisi Laras👇👇
*C'est juste une image; Itu hanya pencitraan
So ... gimana perkembangan tokoh di lapak ini, guys?

YOU ARE READING
Call Me Dante!
Fiksi RemajaSemua dimulai di salah satu taman yang ada di Montreal. Pertemuan biasa yang membawanya ke beberapa pertemuan tidak terduga di lain hari. Larasatya Young bukan sekedar saksi, tetapi salah satu orang yang mengalami jatuh dan bangun diserang masalah...