4. Duality

15 8 11
                                        

Nyaris Stella menabrak seorang pengguna skateboard elektrik yang melesat di antara dua mobil yang terparkir

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nyaris Stella menabrak seorang pengguna skateboard elektrik yang melesat di antara dua mobil yang terparkir. Ia menggerutu di sepanjang jalan, liburannya di New York berakhir lebih cepat. Jadwal bersenang-senangnya kacau hanya karena Violet tiba-tiba menghilang.

Stella tak habis pikir, ia juga tidak tahu sejak kapan Violet begitu nekat berpergian jauh sendirian tanpa memberitahunya. Ini bukan yang pertama kali, bisa dikatakan terlalu sering. Ia sungguh tak memahami pola pikir gadis itu.

Liburan adalah kesempatan untuk mempererat hubungan kekeluargaan, tetapi dari sekian tahun ia mengenal Violet, gadis itu selalu berusaha menjauhi keluarganya sendiri. Begitu pendiam, tepatnya sangat dingin untuk seorang manusia.

Dengan sangat terpaksa ia kembali ke Montreal setelah Laras meneleponnya kemarin malam jika Violet datang seorang diri. Stella tidak dapat benar-benar melampiaskan kekesalannya pada Violet, terkadang amarahnya tertahan setelah mendapat tatapan berjuta misteri dari gadis itu. Seolah ada lautan kekelaman yang membuatnya terperangkap.

"Permisi, kami tidak membutuhkan jasa kebersihan. Silakan menyingkir." Violet muncul dengan ekspresi yang jauh lebih dingin dari biasanya.

Stella mendelik tajam, ia tersadar dari lamunannya. Seperti orang aneh yang sejak tadi mematung di depan pintu entah berapa lama. Namun, ia memilih bungkam dan mengekori. Niatnya untuk menumpahkan segala umpatan langsung sirna.

Stella mengelus dada melihat tingkah Violet yang menutup pintu dengan kerasnya. Sungguh pemandangan aneh sekaligus ajaib menyaksikan gadis kaku itu berlagak seperti remaja pencemburu yang baru saja memergoki kekasihnya berduaan dengan gadis lain.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan dunia gadis itu," gumam Stella, lantas menghempaskan tubuhnya di sofa. Kini perhatiannya langsung teralihkan, menonton tayangan salah satu acara fashion bertema musim panas di New York.

Stella dikenal sebagai gadis atraktif di manapun ia berada. Dibekali kepercayaan diri nan semapai, itu membuatnya begitu mudah bergaul dengan siapapun. Sedangkan Violet, sosok tertutup nan dingin. Kesan misterius begitu kuat tanpa dibuat-buat membuat banyak orang enggan untuk sekedar menyapa.

Agaknya dari sanalah sumber alasan mengapa ia tidak mengerti akan sosok Violet, meski sudah lebih dari satu dekade bersama-sama. Stella terbiasa hidup di kelilingi kehangatan orang-orang disertai kepribadiannya yang terbuka, begitu pula dengan keluarga besarnya. Sedangkan Violet berlagak layaknya orang asing.

Segala kegundahan terperangkap sembari menatap langit-langit kamar bercat putih yang dirasa begitu suram. Seperti halnya orang-orang di luar sana, dirinya pun juga sama sulitnya memahami diri sendiri. Rasanya seolah ada sebilah belati terus-menerus bersemayam di hati. Sakit, Violet merasa hal yang sama setiap kali ayahnya memintanya untuk selalu memperhatikan wanita itu dengan baik.

Ia merasa terluka, karena selalu itu yang terucap setiap kali sang ayah mengiriminya sebuah surat yang begitu singkat. Mengenai wanita tersebut, sosok yang teramat ia benci hingga tidak tahu bagaimana caranya untuk mengurangi rasa itu. Untuk kesekian kalinya, Violet benci berharap. Sesuatu yang tidak dapat ia kendalikan, harapan tercetus, tetapi selalu saja ditampar kenyataan. Bahwa ayahnya dirasa begitu mencintai wanita itu, meski air mata menetes dalam diam, itu menjadi sekedar air mata penuh kebencian akan hal menyakitkan yang terus menghunus perasaannya.

"Mengapa aku selalu dibodohi oleh kehidupan ini?" Ia menyeka air matanya dengan kasar. Berjalan ke kamar mandi dengan terseok lantas mencuci wajahnya yang memerah. "Aku tahu ... aku tahu manusia tidak bisa lepas dari harapan, tapi mengapa tak satupun yang kuinginkan menjadi kenyataan?"

 aku tahu manusia tidak bisa lepas dari harapan, tapi mengapa tak satupun yang kuinginkan menjadi kenyataan?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Berlari di atas impian orang lain, begitulah istilah yang tepat bagi Callum untuk beberapa hal yang ia jalani. Terkadang muncul banyak kekosongan di dalam hidupnya. Namun, ia terus saja melangkah tanpa sempat mengobati serta memahami diri sepenuhnya.

Kemudian identitasnya yang entah bisa disebut sebagai sesuatu yang baik ataukah menyedihkan seketika terungkap setelah tiba di Montreal. Ketika orang asing yang mencurigakan menjadi orang-orang paling hangat dan memahami dirinya, tetapi tentu ia tak merasakan kebahagiaan sepenuhnya. Karena bukan itu yang menjadi tujuan utamanya, terlebih lagi Keluarga Bykov adalah orang-orang yang dibenci oleh ibunya.

Rasanya seluruh sisi jalan hidupnya terkepung. Callum bingung untuk memihak siapa di antara mereka semua. Ia terlalu takut untuk memutuskan, terlebih lagi ia selalu hidup sendirian di antara ramainya orang-orang. Ditambah teman-teman palsu yang menempelinya di masa lampau membuatnya enggan untuk terkoneksi lebih intens terhadap orang lain.

Hingga ada seorang gadis berparas manis mendatanginya yang tengah menyaksikan beberapa pemuda bermain basket dari kejauhan. Sang pemilik kartu identitas Beufort yang sempat ia temukan di sekitar supermarket, Larasatya Alishia Young.

Callum tidak terbiasa menatap lawan jenis secara intens. Ia selalu mengalihkan pandangannya.

"Apa ini milikmu? Aku menemukannya di taman hari itu," ucap Laras dengan seulas senyum tipis yang sama sekali tidak mengurangi kadar manisnya.

"Entahlah, aku lupa."
Callum melirik kartu debit di genggaman tangan kanan gadis itu.

"Siapa namamu?" Ia sadar, pertanyaannya terkesan tidak sopan, tetapi ini jalan satu-satunya bagi Laras, di sisi lain ia juga bingung menghadapi pemuda di depannya ini. Seolah tengah berhadapan dengan Violet yang tak kalah misteriusnya.

"Andrew Callum Dante Marshall," balasnya cepat serta jelas.

Laras menahan senyum. Ia menyodorkan kartu debit itu dan langsung diterima sang pemilik. Pemuda itu berlalu dengan bibir terkantup rapat hingga di jarak dua meter ia berhenti.

"Terima kasih," ungkap Callum tanpa menoleh.

Punggung kokoh dan bermata sayu juga tajam, dua hal yang baru Laras tangkap dari sosok itu. Namun, ia juga merasakan keanehan dari cara pemuda itu memandang.

Ada segudang misteri di setiap individu dan Laras bukanlah gadis yang suka mengorek privasi seseorang hanya untuk menuntaskan rasa penasaran. Terkadang, karena hal itu ia terlambat menyadari sesuatu dari orang lain. Pada akhirnya ia baru tersadar setelah orang-orang itu pergi tanpa meninggalkan pesan dan kabar.

Tersenyum manis untuk membalas sapaan orang-orang di sekitarnya adalah hal biasa yang bisa dilihat dari sosok Laras.

Namun, sampai kapankah senyum itu akan terus bertahan?

Seperti halnya rasa sakit dan kebahagiaan, tiada yang abadi. Dari segudang pendapat orang-orang pada gadis itu. Mengenai betapa bahagianya Laras setiap kali menjalankan aktifitasnya seolah tiada beban, seketika membuat mereka iri. Padahal manusia memiliki masalah tersendiri, dari yang terkecil hingga masalah yang menyerang mental seseorang.

Terdapat banyak sisi penuh misteri dari satu orang. Dalam setiap langkah, di bawah teriknya mentari, Laras turut berjuang dengan segala serangan yang menggerogoti pikirannya. Ia terbuka pada siapapun, tetapi tidak untuk dirinya sendiri.




Bersambung
24 September 2021

Call Me Dante!Where stories live. Discover now