Keracunan Tinta

19 1 0
                                    

Ini.
Adalah surat untukku, kepada diriku.

Hai, Albert.
Kau lahir buruk rupa. Yang kau miliki hanyalah kemampuan luar biasamu dalam berpuisi dan bersurat.

Semua orang di kota ini, rupawan. Membuatku takut pergi keluar dan diremehkan. Seperti saat aku pergi membeli roti pada tuan Perry.

Dilecehkan preman kampung sialan, dibugili dan di arak sebagai kurcaci pembawa sial.

" Tak pernah kulihat ada orang paling jelek di kota ini selain dirimu! "

Kata-kata ini seperti membangun mesin kalimba otomatis di kepalaku yang berisikan melodi dari kalimat itu.
Berputar setiap malam sebelum aku tidur. Membuatku merasa aku akan tidur dan bangun esok hari untuk kiamat.

Terimakasih kepada bayangan gelap di sudut ruangan kerjaku. Engkau memang memberiku daya besar dan rasa puas luar biasa. Aku suka menulis puisi untuk wanita-wanita cantik yang kulihat di kota ini. Namun mereka berakhir menyakiti hatiku hingga saatnya tiba, harus kutulis puisi pelik untuk mereka sebagai pisau di leher mereka. Aku tidak menyesal bahkan sampai saat ini; saat aku tahu ajal ku akan tiba. Mungkin mereka akan segera mengeroyoki ku karena aku dan puisi terkutuk ku lah dalang dibalik kelayuan massal dari bunga-bunga di kota ini.

Cara mati mereka kubuat bermacam-macam dan selalu kutuliskan alasan kematian mereka di setiap judul puisi;beberapa karya favoritku adalah sakit kulit, bakar diri, dan gantung leher.

Usai ku bunuh merekapun, masih kulecehkan jiwanya. Tak kubiarkan mereka damai sebelum seenaknya pergi berpijar di langit. Nyawanya akan kujadikan fantasi, menonton diriku melecehkan nyawanya sembari aku memainkan alat vitalku, membayangkan mereka menghisapnya sampai kering!.

Sampai aku bertemu dia, Victoria.

Dia wanita cantik pertama yang menyapaku di jalan. Oh tidak, satu-satunya orang yang pernah menyapaku di jalan. Sepulang dari perjalanan waktu itu, kubuangi semua lilin dirumahku karena senyumnya berpijar seperti lampu di seantero rumahku sejak saat itu. Kuhancurkan semua tanamanku karena dia adalah bunga terbaik yang harusnya ku tanam di halaman rumahku sejak dari dulu.

Semenjak saat itu, aku sering bertemu dengannya dan bercengkrama. Dia wanita tercantik yang pernah kulihat. Matanya bersinar hijau seperti Padang rumput segar di bukit Ben Lawers. Membawaku kembali ke masa kecil yang indah dimana semua orang berbadan kecil, masa sekolah tidak buruk dan semua orang sama; yang membedakan hanyalah faktor ekonomi dan aku tidak pernah mengalami kesialan apapun karena aku orang yang cukup kaya. Matanya membawaku ke masa-masa terbaik dalam hidupku.

Rasanya ingin kutulis puisi tentang setiap jengkal tubuhnya. Kali ini bukan niat yang buruk, aku ingin mengabadikannya dalam sebuah kertas karena mungkin dia tidak akan pernah Sudi ku lukis atau berfoto bersamaku.

Ternyata aku salah,
Kemarin malam kami tidak hanya berfoto dan melukis.
Dia bersedia telanjang dihadapanku, mabuk dalam cinta dan bilang bersedia mati untukku. Namun gairahku untuk menuliskan puisi untuknya makin hari semakin besar. Kukira teman bayangan besar itu salah tentang kutukan puisiku, dia bilang itu adalah kutukan. Namun bagiku, itu adalah anugerah.

Sekarang aku tahu mengapa ia menyebutnya demikian.

Aku dikutuk untuk tidak pernah menemukan cinta sejati.

Victoria aku mencintaimu, namun kali ini kurcaci pembawa sial akan melahap kesialannya sendirian, menjagamu dari gelap dan dikeroyok di akhirat dan mungkin akan mati dua kali. Aku akan merindukanmu di neraka, dan mungkin jika kamu mati, kau akan pergi ke surga, tidak mungkin kamu dan kesucian hatimu membawamu kepadaku. Setiap malam kau selalu menempelkan telingamu di dadaku, mengungkapkan rasa syukur tanpa henti karena jantung ini masih berdetak, memberikan kesempatan kepada kita untuk saling jatuh cinta. Beribu maaf, aku tidak bisa setuju kepadamu, Victoria..
Karena detak jantungku lah akar dari permasalahan kita, darahku mengkhianatimu, setiap degupannya memproduksi bait-bait puisi yang membunuh, dan ia terus menerus menuntut ke-elok-anmu.
maka kuputuskan bahwa kemarin ini, hari terakhir kau menemuiku.

Aku mencintaimu, Victoria.

Keracunan Tinta

Hai Albert, bosan diriku dengan kertas
Kutulis puisi didalam diriku
Di dalam perutku
Lewat kerongkonganku, pelan-pelan melahap paru-paru dan hatiku.
Selamat berabadi kekal di dalam jeruji sajak.

The Lover ( and other stories) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang