Jendela rumah berdecit dihantam angin beberapa kali, diluar sedang badai dan pintu kayu tipis itu tidak segera terbuka. Ayah dan ibu saling menguatkan satu sama lain di meja makan, mereka sudah siap dengan kenyataan bahwa cepat atau lambat langit-langit akan segera rubuh dan menimpa mereka yang tengah menunggu kepulangan anak laki-laki tertua mereka, Adalgar, si penjaga laut.Tidak seperti ibu dan ayahnya, Adette, adik Adalgar terus menatap keluar jendela dan menopang dagunya di atas lengan. Wajahnya nampak bosan sampai beberapa kali ia menutup matanya dan nyaris terlelap. Ia terus berfikir tentang kawanan lumba-lumba berwarna merah muda yang ia sering jumpai saat matahari baru saja bangun, senandung merdu dari seseorang yang ia panggil ratu setengah ikan, beberapa kali ia melihat wanita berekor ikan itu duduk diatas batu ditengah laut, menyisir rambut putih keemasannya dengan cangkang kerang. Terkadang rambutnya berganti warna tergantung dengan warna langit hari itu. Besar keinginannya untuk menghampiri makhluk yang cantik itu, namun ia ingat kata kakaknya untuk tidak mengganggu mereka karena mereka makhluk yang sangat pemalu sehingga ia hanya boleh menikmati cantiknya mereka dari kejauhan.
" adette, kau harus terus membuka matamu, barangkali kita harus segera bersiap-siap keluar dari rumah. "
" kakak akan menyelesaikannya. "
Jawab Adette kepada ibunya.
Di dalam rasa khawatirnya, ibu memperhatikan Adette yang sedang tersenyum senyum sambil beberapa kali mencoba meraih kain korden yang ujungnya tersapu angin di tengah badai. Adette adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya dihadapi Adalgar setiap hari. Bahkan para penghuni pulau ini pun tahu kebenarannya, harga dari pengetahuan tentang lautan tengah adalah terenggutnya rasa aman, dan kepedulian terhadap masyarakat satu sama lain. Karena saat orang hanya berfikir tentang keamanan mereka, mereka cenderung lebih tertutup dan menyendiri. Ibu, ayah dan Adalgar sepakat untuk menutup kebenaran ini rapat-rapat karena tidak mau merenggut keceriaan anak perempuan yang periang. Dia adalah satu-satunya senyuman yang masih hidup di Waltshore.
Ia tidak memiliki teman karena anak seusianya dikirim ke luar kota oleh orang tua mereka untuk bersekolah dan mendapatkan hidup yang lebih layak. Sedangkan keluarga Adette terlalu miskin untuk melakukan hal yang orang lain lakukan. Beberapa kali Adette mencoba untuk mendiskusikan tentang lautan kepada beberapa orang, berakhir dengan diusir, suara bentakkan dan kalimat cemooh. Sehingga Adette hanya bisa mencatat diam-diam segala informasi tentang dunia laut yang ia peroleh dari kakaknya.
Suara pintu rumah terbuka, memecah rasa khawatir seisi rumah.
Benar saja, satu-satunya penjaga Waltshore yang masih hidup itu sudah sampai dengan selamat meskipun pakaiannya berlumur cairan berwarna hitam kehijauan, yang baunya amis dan pekat.Namun bau itu tidak dapat menyelamatkan Adalgar dari pelukan erat adiknya yang tidak peduli dengan aroma busuk kakaknya. Rasa cintanya terhadap Adalgar lebih besar dan mengalahkan pekatnya aroma cairan hitam disekujur tubuh Adalgar.
××××
Rutinitas biasa setiap sehabis dari lautan tengah adalah menceritakan kisah-kisah palsu tentang laut tengah kepada Adette. Berat hati Adalgar untuk menyuapi adiknya dengan semangkuk kebohongan setiap malam, tapi supaya Adette merasa bahagia hidup disini - setidaknya sampai ia mendapatkan cukup uang untuk mengirim adiknya ke luar kota-.
" Cerita laut tengah! cerita laut tengah! debur ombak dan kuda laut! Laut tengah! laut tengah air pelangi dan putri duyung"
Adette menyanyikan lagu sederhana yang ia dedikasikan untuk lautan tengah setiap kakaknya akan menyampaikan kabar tentang lautan sebagai cerita pengantar tidur. Ia mulai tidak sabar sampai menari nari diatas karpet yang menutupi lumut dipermukaan lantai kayu. Sengaja diletakkan disitu supaya Adette tidak terpeleset saat menari karena hampir seluruh permukaan lantainya sudah dipenuhi lumut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lover ( and other stories)
HorrorKumpulan cerita pendek yang mengangkat efek samping dari emosi manusia.