Part 18. Duka Kusumaningrat

1.1K 79 11
                                    

Pagi bergelayut mendung, mengiringi kepergian salah seorang anak manusia yang kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Rintik gerimis pun sempat mengiringi prosesi yang disaksikan keluarga dan kerabat serta kolega yang tak henti menggumamkan doa bagi raga yang tertidur di peristirahatan terakhirnya.

Isakan seorang pria berusia enam puluh lima tahun terdengar begitu memilukan. Di atas sebuah pusara yang baru saja ditaburi bunga oleh istri, anak, dan cucunya. Para pelayat beberapa telah meninggalkan lokasi pemakaman.

“Semua ini salahku,” lirih pria itu.

“Romo, ini sudah takdir.”

Suara pria yang lebih muda tak kalah paraunya akibat tangis yang tak henti sedari kemarin.

“Dua cucuku sekarang meninggal.” Kali ini sedu kembali terdengar.

“Enzo, harusnya sekarang dia sudah tumbuh jadi kebanggaan kita. Tapi nyatanya aku sudah membunuh dia. Aku membiarkan dia pergi sebelum melihat dunia.”

Eijaz mengelus pundak sang ayah.

“Romo, Kayla sama saya sudah ikhlas. Enzo sudah bahagia di sana.” Pria itu menghapus air matanya.

“Sekarang, cucu kesayanganku, Fabian juga pergi. Gara-gara aku. Gara-gara aku dia disiksa papanya selama ini. Dan aku ndak tahu. Harusnya aku lebih peka dan paham kondisi anak dan cucuku. Aku gagal jadi orang tua, jadi eyang. Aku gagal jadi laki-laki.”

“Romo, sudah. Ini semua takdir. Sekarang tugas kita, nyemangatin mbak Fara dan Icha. Apalagi Icha sedang hamil buyutnya Romo. Nggih?”

Pria tua itu mengangguk dan menghapus air matanya.

“Kita pulang ya,” ajak Eijaz.

Dua orang itu akhirnya meninggalkan area pemakaman yang sekarang sepi. Eijaz mendorong kursi roda sang ayah dan dengan telaten membantunya masuk ke dalam mobil. Pri atadi tiba-tiba menangis lagi. Eijaz segera masuk ke dalam sisi lain mobil dan menempatkan diri di balik setir.

“Romo, sudah, jangan ditangisi terus Ian sudah tenang di sana. Sama Enzo.”

Eijaz perlahan melajukan mobilnya.

“Aku inget Kayla. Selama ini aku dibutakan rasa gengsi. Harusnya waktu kalian mau berpisah, aku larang. Bisa-bisanya dulu, aku termakan omongan Faruk. Padahal Kayla selalu ngabari kalau ada apa-apa. Harusnya waktu itu aku mikir panjang.”

Eijaz menghembus napas. Kondisi sang istri kini masih belum sadarkan diri. Dua hari pasca penembakan itu terjadi, Kayla masih berjuang akibat kehilangan banyak darah. Keluarga Kusumaningrat memang telah diuji.

Belum selesai masalah yang ditimbulkan Faruk, belum sadarnya Kayla, kini Fabian, sang cucu tertua pun berpulang, meninggalkan seorang istri yang tengah hamil tujuh bulan. Semua terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Aku mau ketemu Kayla,” lirih pria itu.

“Romo, pulang saja dulu. Mbak Fara lebih butuh Romo. “

“Kamu sudah ngurus semuanya kan? Kamu sudah rujuk sama Kayla kan?”

Eijaz tak memberi jawaban yang berarti pada sang ayah. Seperti biasa dia hanya diam dan fokus pada jalanan. Pikiran Eijaz sekarang hanya secepatnya kembali ke rumah sakit, menunggu sang istri yang terpaksa dititipkan pada mertua dan iparnya.

Mobil Eijaz baru terparkir di depan gang rumah Fabian, karena terhalang mobil para pelayat dan keluarga. Ponselnya berdering di saat dia membantu sang ayah duduk di kursi roda.

“Kenapa Ki?”

Mas, Mbak Kay! Cepetan ke sini!”

Eijaz seolah disambar petir.

My Past and Future (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang