1 ✎ Pertemuan Berharga

693 77 20
                                    

Di kala sang Mentari hampir berpulang ke tempatnya berakhir, saat itu juga dimana paling indah untuk menikmati sore. Sinarnya yang sudah mulai menghangat, kadang lebih candu ketimbang yang membakar kulit. Meskipun, di kala itu juga jalanan Jakarta tengah padat-padatnya, tetap saja sang Mentari adalah hal paling menenangkan.

Sama seperti kebanyakan orang, Arjuna juga tengah menikmati hangatnya sang Mentari dengan caranya sendiri. Di sela sibuknya ia dengan pekerjaan di kantor sang Ayah, Juna menempatkan diri sebuah tempat sepi yang jauh dari keramaian. Bentuknya hanya sebuah taman biasa, namun tepat dimana kita mampu melihat mentari yang hampir tenggelam.

"Jangan buat yang lain kesal, kamu juga nggak mau diperlakukan begitu kan?"

Juna menoleh, mendengar kalimat lembut yang disuarakan dengan nada sedikit tinggi. Seorang gadis cantik, dengan balutan hijab berwarna coklatnya, tengah mengelus surai anak kecil di depannya. Juna heran, sejak kapan mereka berada disini, sedangkan dirinya sering kesini tapi tidak pernah melihat. Juna berpikir, mungkin ketika dirinya sibuk mengerjakan proyek mendadak sang Kakak.

Butuh beberapa menit, hingga dirinya menyadari anak-anak yang tengah dibimbing gadis itu juga punya kekurangan masing-masing. Gadis itu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan anak-anak, meski kadang kalau sudah tidak sempat, ia langsung bicara. Gadis itu terlihat sabar, meski marahnya tak jarang muncul.

Ketika ponsel Juna menunjukkan pukul lima sore, anak-anak murid gadis itu sudah mulai bubar. Ketika sesi pamitan, langkah Juna bergerak sendiri untuk mendekat. Laki-laki itu tertarik dengan cara manis si Gadis mengajar. Meski terdengar suka mengomel, tapi begitu terasa ketika gadis terlihat menyayangi setiap anak yang dibimbingnya.

Juna tersenyum, tanpa ada salam yang berarti untuk gadis yang sudah menangkap presensinya. Tempat terbuka di taman ini, memang cukup sejuk untuk mengajar dan mendapatkan banyak ilmu. Alih-alih membalas senyuman Juna, gadis itu malah mengernyit heran pada laki-laki yang entah ada angin apa tersenyum sendiri.

Juna memberanikan diri untuk menyentuh pelan gadis itu. Untuk pertama kalinya ia kembali menyentuh perempuan, setelah kehilangan perempuan hebat dalam hidupnya.

"Maaf, mas, ada perlu apa?" terka gadis itu.

Juna masih ragu untuk menggerakkan jemarinya. Tangannya bahkan dieratkan sampai buku-buku jarinya memutih. Takut jika, gadis di hadapannya malah langsung pergi menyadari sesuatu yang spesial darinya.

"Mas, udah sore sekali ... saya harus pulang." Gadis itu berjalan lebih dulu, namun Juna masih tidak menyerah.

Di depan si Gadis, Juna menarik nafasnya panjang untuk menyiapkan mental. Kemudian, dirinya mulai menggerakkan jemarinya, "Kamu hebat sekali tadi!"

Gadis itu menutup mulutnya tidak percaya, dirinya sudah terlanjur jengkel. Namun, ternyata laki-laki di hadapannya bukan sekedar ingin menggoda, "Maaf ... tadi saya kira-"

Juna tersenyum geli, melihat gadis itu gugup, "Nggak papa ... banyak orang yang membalasnya begitu buruk dibandingkan kamu."

Gadis itu mengernyit, "Okey .... Jadi bagaimana?"

Juna berjalan berdampingan dengan gadis itu mengitari taman, "Kenapa memilih mengajar mereka? Sedangkan, kamu bisa mendapatkan gaji besar di sekolah."

Gadis itu tersenyum, "Mereka menggemaskan, dan beberapa dari mereka sudah tidak memiliki orang tua, hidup di jalanan. Mungkin ada yang beruntung, masih bisa tinggal dengan paman atau kerabat lainnya, tapi dengan keadaan spesial yang mereka miliki, seseorang mungkin sulit memahami."

"Memangnya ... kamu kerja apa?"

Gadis itu tersenyum, "Aku masih kuliah, tapi memang sedang magang di sebuah perusahaan, bagian dari tugas akhir."

Bentala Milik JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang