Sang malam sudah berjasa kemarin, memberikan sebuah peristiwa sakral yang baru pertama dan terakhir untuk Juna. Meskipun, dirinya saja masih belum mengerti bagaimana nanti kelanjutannya, Juna masih berusaha memberikan yang terbaik. Malam ini, dirinya hanya diam memandang Naya yang memilih duduk di sofa sambil bermain ponsel.
"Kamu ... nggak mau tidur di kasurnya?" tanya Juna, menunjuk kasur yang sudah dibaluti sprei mengkilap.
Naya menggeleng, "Kau mau?"
Juna memiringkan kepalanya, sedikit butuh waktu untuk mencerna maksud Naya. Beberapa menit, hingga akhirnya Juna mengangguk, "Tidurlah di kasur, aku yang akan menempati sofanya."
"Kau ... yakin?"
Juna mengangguk, tangannya menadah menunjuk ke arah tersebut. Naya hanya memandang datar Juna, jujur meski ini hari bahagia, tapi hatinya sama sekali tidak bahagia. Apalagi, tadi saat akad Wira terlihat begitu mesra dengan istrinya. Naya memandang bagaimana Wira terus menjaga Gita agar tidak kelelahan ketika sedang mengandung.
Naya salah memang, dirinya sudah begitu mencintai Wira dulu, dan berharap banyak. Sayang, akhirnya tidak seindah harapannya. Kini, yang mau menikahinya malah adik Wira yang menyebalkan menurutnya. Naya tidak mengerti kenapa, tapi dirinya sama sekali tidak merasa nyaman di dekat Juna, semenjak terjebak dalam perjodohan.
Sedangkan, Juna menatap punggung Naya dari arah sofa. Ada sedikit senyuman terbit, "Kamu nggak bahagia, ya? Maaf ... tapi kini tanggung jawab aku untuk mengusahakan indahnya hidupmu, Ay."
Beberapa jam hanya terlarut dalam pandnagannya untuk sang istri, Juna masih juga belum bisa tenggelam dalam rasa kantuk. Juna tidak bisa sekedar mengalihkan pandangan, meski dirinya sudah bisa menyimpulkan Naya sudah tertidur tenang. Wanita itu cantik sekali, dengan rambut hitam panjangnya.
Sampai pada penghujung malam, Juna memilih untuk tidak tertidur, menjaga Naya sepanjang sang bulan masih bersinar. Kemudian, tidak lama Juna seperti mendengar suara tangisan dari arah Naya. Juna segera berdiri perlahan, kemudian berjalan ke hadapan Naya. Wanita itu tidak terbangun, namun tangisnya nyata.
Dengan gerakan super pelan, Juna menginjakkan kakinya di kasur. Juna berhati-hati sekali, takut Naya malah terbangun karenanya. Juna segera menggenggam jemari Naya, berharap wanita itu bisa lebih tenang.
Rupanya, benar. Naya mulai berhenti terisak, wanita itu sedikit lebih tenang ketika Juna mengeratkan genggamannya. Juna mengelus punggung tangan Naya, dan perempuan di hadapannya berangsur tenang, kembali nyenyak. Juna tersenyum, dirinya berhasil.
Tangannya yang lain sedikit gemetar untuk merapihkan rambut Naya, "Aku harap kamu bisa bahagia ya, Ay? Tolong, Ay ... kamu harusnya tau, aku suka sama kamu. Aku sayang ...."
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala Milik Juna
Random"Dunia memang tidak pernah berpihak pada orang yang tengah berjuang." Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Arjuna. Tapi, bukan berarti dirinya ini hidup hanya sebagai formalitas, yang dimanfaatkan bagai budak. Bumi yang tengah ia pijak ini, bel...