4 ✎ Rasa Sakit dan Obatnya

448 61 14
                                    

Setelah menyadari kehadirannya di kampus adalah sia-sia. Naya meminta Juna untuk berkeliling kota sambil menikmati pemandangan. Sebenarnya ini adalah cara Naya untuk lari dari rasa sakit hatinya. Entah kenapa, rasa sakit itu seakan enggan pergi, meski sudah ada yang berusaha mengobati. Juna hadir, ingin memperbaiki gadis itu, sayangnya Naya bahkan tidak mau meliriknya.

Satu jam sudah berlalu, hingga Naya menyadari ponselnya mati. Sedangkan, charger miliknya tertinggal di rumah. Naya pun meminta Juna untuk berjalan pulang saja, untuk mengambil pengisi daya, setelahnya mereka bisa keliling Jakarta lagi. Juna menyetujui saja, lagipula perannya disini sama seperti seorang supir. Sebenarnya Juna banyak pekerjaan, apalagi harus memikirkan strategi penjualan perusahaan selanjutnya. Namun, untuk Naya, Juna akan melepasnya sebentar.

Beruntung, lokasi ketika Naya menyadari charger ponselnya tertinggal, dekat dengan rumah. Sehingga, tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah. Tanpa ada basa-basi, Naya langsung saja masuk ke rumah dan naik ke lantai atas. Sedangkan Juna, mencoba beristirahat sebentar di sofa ruang tamu, sembari mengontrol jalannya perusahaan dari iPad miliknya. Memang, dalam perusahaan Juna hanya sebagai boneka, diperintahkan ini-itu, tetap atas nama Wiranata.

Prang!

Suara itu begitu nyaring hingga ke telinga Juna, asalnya dari dapur belakang. Inisiatif saja, Juna berjalan ke arah dapur. Di sanalah, dirinya menemukan pecahan gelas yang dibeli sang kakak dari Eropa, dengan harga selangit. Ada Gita juga, sedang diam sambil mengelus perut buncitnya. Juna tidak menduga, tapi ini adalah pasti, Gita yang memecahkan gelasnya. Namun, bukankah seharusnya wanita itu panik, karena gelas ini merupakan gelas kesayangannya.

"Bereskan itu!" perintah Gita.

Juna awalnya enggan, tetapi ia tidak mau berdebat dengan wanita hamil. Laki-laki ini langsung berlutut, sembari memunguti pecahan gelas yang bertebaran. Ia hanya bisa menghela napasnya lelah, hari ini mungkin melelahkan baginya, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin memang begini manfaat mengapa Tuhan menciptakannya, dengan kekurangan tidak mampu bicara, maka ia juga tidak bisa mengeluh apapun.

Semuanya lancar saja, ketika Juna masih memunguti pecahan gelas diawasi Gita. Sampai tiba-tiba saja, wanita di depannya berteriak meringis. Juna mengernyit tidak mengerti, padahal Gita tidak terkena apapun. Juna baru sadar, ketika kakaknya datang dan langsung menoyor kepalanya hingga membentur meja dapur. Juna meringis, sedangkan Wira menatap penuh amarah.

"Lo itu kalo nggak suka sama istri gue, nggak usah nyakitin gini!"

Kernyitan Juna semakin nyata. Sebab, dirinya disini malah untuk membantu Gita. Tangannya, mana berani dibuat untuk menyakiti perempuan, sebenci apapun dirinya.

"Iya ... Mas. Masa aku didorong, perut aku sakit, sampe kena meja." Gita menambahkan, sembari meringis kesakitan.

Mulut Juna menganga tidak mengerti. Tetapi, tangannya ditarik paksa oleh Wira untuk berdiri, dari posisi berlututnya. Seketika itu juga, Juna merasakan pipinya panas akibat tamparan keras Wira. Kepalanya tertoleh, Juna marah tentu saja, namun mau dirinya membalas sehebat apapun, masalahnya akan lebih parah mengarah padanya. Juna membiarkan saja, bahkan saat Wira pergi, membawa istrinya.

Dalam genggaman tangan Juna, masih ada sebilah pecahan gelas. Dirematnya dengan kuat, tidak menghiraukan darah yang mulai mengalir deras membasahi lantai dapur. Juna tetap saja manusia yang punya batas kesabaran, bedanya jika orang lain akan melampiaskan pada penyebabnya, Juna tidak mampu. Juna hanya bisa begini, melukai apa yang ada di tubuhnya.

Dari ujung tangga sana, rupanya Naya tengah memperhatikan. Wanita itu sudah lama mengambil charger yang tertinggal. Namun, mendengar pecahan gelas dan bentakkan Gita, Naya urung untuk melanjutkan langkahnya. Naya hanya diam memperhatikan sejak tadi, tanpa berniat untuk membela. Karena Naya rasa, dirinya juga tidak berhak.

Bentala Milik JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang