Sore hari hingga malam, akhirnya hanya dihabiskan Naya untuk menemani Juna di rumah sakit. Perkataannya di hadapan ayah mertua hanya sebatas membuat Hasan memaafkan Juna hari ini, bukan mencoba menerima Juna apa adanya. Hasan tetap teguh pada pendiriannya yang keras, dan terus membanggakan Wira yang bahkan tidak ada seujung jari Juna.
Beruntungnya, penantian Naya tidak sia-sia, karena kedua mata yang sudah lama tertutup ini kembali membuka. Naya segera menggenggam jemari Juna, agar lelaki itu menyadari keberadaannya. Ketika keduanya berkontak mata, Juna hanya diam, dengan wajah yang Naya sendiri tidak tau bagaimana mengartikannya.
Tidak lama, Juna malah mengangkat sebelah tangannya untuk mengisyaratkan sebuah kalimat, "Kamu kenapa berada disini? Cukup, Naya ... kalau memang kamu tidak suka pernikahan ini, tidak perlu berpura-pura."
Naya tertegun kala dapat mencerna setiap kata yang ada. Juna juga mengisyaratkan huruf N, yang berarti lelaki itu malah memanggilnya dengan nama lengkap. Naya menggeleng perlahan, air matanya mengalir perlahan, "Kata siapa ... aku nggak pernah pura-pura. Mas, aku percaya sama kamu, makanya aku yang belain kamu di hadapan Ayah tadi. Maaf, maaf aku egois!"
Air muka Juna masih begitu tenang, "Kamu seharusnya tidak perlu repot. Kamu nggak akan bisa mengubah takdir apapun. Ayah ... juga sudah benci aku, jadi mau kamu berikan pembelaan serinci apapun, tidak akan merubah persepsinya."
"Iya ... iya, aku tau. Tapi, jangan bilang aku pura-pura dengan pernikahan ini, aku serius, mas!"
"Sejak kapan? Kalau memang hanya kasihan, buat apa, Naya? Kamu lebih baik pergi bersenang-senang dengan teman-teman kuliah dan tidak perlu mengurusi hidupku. Maumu begitukan?"
Naya menggeleng, rasa bersalah kembali bersarang di hatinya. Tidak bisa dipungkiri memang, dirinya malah seakan mendukung pihak yang tengah memfitnah suaminya sendiri. Naya tidak melakukan apapun ketika fitnah itu sampai ke telinga Hasan. Naya baru bercerita ketika semuanya sudah terlanjur berantakan, begitu pula dengan fisik Juna. Jadi, bukankah semuanya sudah percuma?
"Mungkin ... kalau aku bukan suamimu, kamu langsung membela saat itu juga. Aku tau, dan paham kalau pernikahan ini juga menyiksa kamu. Aku butuh kamu juga bisa dewasa, Nay! Dengan kamu diam, secara tidak langsung kamu juga ikut fitnah aku."
Gelengen Naya semakin ribut, genggamannya semakin kuat pada jemari kanan Juna, "Nggak! Aku minta maaf! Aku salah ... tapi maksud aku nggak begitu!"
"Iya, maksud kamu memang nggak begitu. Tapi kejadiannya jadi persis seperti itu. Naya, kamu belajar agama, kamu rajin sholat, tapi pernikahan ini ... masih kamu anggap sebagai ladang ibadah?"
"Mas ... maaf ...."
Dengan tarikan napas panjang, Juna bangkit dari posisi baringnya menjadi setengah duduk. Hatinya juga tidak tega melihat seorang perempuan menangis, namun dirinya juga dititipkan Ayah Naya untuk mendidik Naya menjadi muslimah yang benar. Setidaknya, kalau memang niat awal Naya menjalani pernikahan ini sudah acak-acakan, maka sudahi saja. Sebelum menambah runyam ibadah yang dijalankan dengan sia-sia nantinya.
Hari ini, Juna juga berhak marah, karena dengan begitu angkuh, sebelumnya Naya malah membantu memfitnah dirinya. Beruntungnya, Juna masih punya rasa cinta berlebihan yang malah membuatnya kini mendekap tubuh Naya. Juna tidak mampu melihat Naya terisak begini di badapannya. Juna mengerti, hati Naya sudah begitu rapuh akibat brengseknya seorang Wiranata Danendra.
Naya mencengkram kuat lengan Juna, seakan memang malam ini dia begitu tulus mengutarakan maaf atas sikapnya. Naya paham seberapa keterlaluan dirinya di hadapan suaminya sendiri. Dalam benak Naya, yang terpenting adalah dirinya akan sama seperti Wira jika memperlakukan Juna bagaikan laki-laki rendahan. Apa bedanya ia dengan Wira jika sama-sama menindas seseorang yang sudah tulus mencintai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala Milik Juna
Random"Dunia memang tidak pernah berpihak pada orang yang tengah berjuang." Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Arjuna. Tapi, bukan berarti dirinya ini hidup hanya sebagai formalitas, yang dimanfaatkan bagai budak. Bumi yang tengah ia pijak ini, bel...