Pergi

0 0 0
                                    

Anagram #6

Baik Dira dengan Chandra, maupun Chandra dengan Agnes memiliki kedekatan yang masing-masing yang tak dapat Dira terka. Apalagi akhir-akhir ini Agnes lebih sering menceritakan kedekatannya dengan Chandra. Dira merasa ini adalah sesuatu yang salah, ia merasa harus menjauh dari Chandra. Bahkan jika ia sudah menjauh, ia tetap tidak yakin apakah Chandra benar-benar tulus menyukain Agnes, mengingat selama ini Chandra juga memperlakukan Dira bak puteri dari negeri dongeng juga. Maka ia semakin lama mulai menghindari kontak dengan Chandra. Ia berusaha tak membalas setiap pesan atau mengangkat telepon dari Chandra. Bahkan saat bertemu di kantor, Dira selalu melengos dan beralasan sedang sibuk. Ia berharap semoga saja dengan ia menjauh, maka Chandra akan sepenuhnya menyukai Agnes dan melupakan dirinya. Tapi nyatanya ia salah, seakan tak bosan mencoba menghubungi Dira setiap kali, Chandra sampai nekat datang ke rumah Dira dan telah mneunggunya sepulang kerja. Ibunya Dira yang tidak tahu apa-apa tentu sja mengijinkannya masuk ke rumah menunggu puterinya. “Ada yang salah denganku?”tanya Chandra menuntut penjelasan. “Tidak, semua baik-baik saja. Saya cuma lelah, Mas. Saya harus tidur sekarang. Maaf.”Dira merasa tidak enak pada Chandra, tapi ia harus bertindak tegas, ini demi kebaikan Agnes, pikirnya. Mau tidak mau Chandra segera pulang & berpamitan pada ibu Dira. Ibu Dira sempat bingung dengan yang terjadi, tapi beliau mengesampingkan itu, “Ah, biasa, romantisme anak muda.”pikirnya sambil lalu. Dira merasa ini benar-benar salah. Ya, Agnes harus diperingatkan bahwa Chandra tidak sekharismatik pembawaannya, atau sememesona penampilannya. Ia hanya buaya darat, yang mencoba mengeruk untung dari dirinya dan Agnes. Maka ia berniat, besok akan mengatakannya pada Agnes.
“Nes, ada waktu?”tanya Dira. “Iya kenapa Ra?”tanyanya. “Giman hubungan lo sama Chandra?”tanya Dira berbasa-basi. “Baik, banget malahan. Dia cowo tersopan yang pernah gw kenal. Seklaigus romantis.”pipi Agnes mulai memerah. Dira jadi ragu untuk memberitahunya, karena takut akan mengecewakannya. “Sepertinya, ehm, dari yang gw lihat Chandra ga sebaik itu.”ia memulainya. “Maksud lo?”tanya Agnes penasaran “Ya,,dia,,ehm,,mungkin cuma memanfaatkan lo aja. Maksud gw, lo yakin dia ga punya cewe lain di luar sana?”jelas Dira perlahan. “Tunggu,,tunggu,,maksud lo Chandra cuma suka bohongan sama gw? Lo cemburu Ra? Gw tahu hubungan lo sama Rendra dari dulu ga berjalan mulus, tapi lo harus sadar gw itu temen lo. Lo harusnya seneng kalau gw punya cowo & mnejalin hubungan.”jawab Agnes dengan suara meninggi. Dira tak menyangka respon Agnes akan seperti itu. “Nes, bukan maksud gw--” Blaaaakkk.. Pintu terbanting. Tia buru-buru datang ke sumber suara. Didapatinya Agnes yang keluar ruangan arsip dengan wajah yang penuh amarah, sementara di dalam ruangan, Tia melihat Dira termenung. “Ra,,ada apa sih?” tanya Tia pelan. Dira menggeleng, ia belum mau membicarakannya pada siapapun tentang pertengkarannya saat itu.

Sisa malam itu Dira habiskan dengan menangis & menangis, walau ia sadar tangisannya tak akan bisa mengubah apapun, tapi hatinya terasa terlalu perih. Ia sangat menyesalkan apa yang terjadi di saat-saat terakhir kepergian Agnes, sahabatnya yang sangat ia cintai itu. Pertengkarannya yang sempat mencuat, juga tingkah laku aneh Agnes sebelum kepergiannya. Apa tingkah laku anehnya merupakan sebuah pertanda atau firasat? Ataukah ia memang sedang mengalami sesuatu? Seperti seseorang yang tengah menerornya? Ia mencoba mengingat-ingat detail hari-hari sebelum kepergian Agnes, tiba-tiba ia tertegun, teringat akan ucapan terakhir Agnes kepadanya “Hati-hati ya sama Rendra.” ia mengacuhkannya selama ini karena ia pikir Agnes hanya ingin membalas perkataan Dira lalu terhadap Chandra, atau hanya bualan semata. Tapi ia tahu, petunjuk sekecil apapun akan bisa menuntunnya menuju fakta yang lebih besar. Ditambah lagi dengan kemunculan Rendra yang semakin jarang akhir-akhir ini menguatkan kecurigaanya. Tapi ia tahu, semua itu hanya asas praduga tak bersalah, jika ia ingin membuktikannya, ia harus mencari bukti-buktinya sendiri. Namun jauh dalam lubuk hatinya, ia sangat menyangsikan bahwa Rendra lah pelakunya. Ia mencintai & mengenal betul pria itu. Pasti ada yang salah. Tapi apa? Bagaimana? Ia menghentikan tangisannya & segera berusaha mencari tahu. Dilihatnya ponselnya. Tia. Itu nama pertama yang ada dibenaknya. Ia segera menghubungi Tia. Terdengar suara Tia yang masih baru terbangun terdengar di ujung sana. Dira bingung harus memulainya darimana, tapi ia merasa sahabatnya itu berhak tahu semuanya. Dira menjelaskan semuanya secara gamblang, dimulai saat ia mencoba mendatangi apartemen Agnes semalam, hingga akhirnya ia mendapat telepon malapetaka itu dari kepolisian. Seperti yang telah ia tebak, Tia di sana langsung menangis histeris, ia memakluminya, karena ia pun begitu semalam. Tapi Dira terus mengajaknya agar bisa bangkit untuk berpikir jernih. “Kita harus tahu siapa pembunuhnya Ti, kita ga bisa menyerahkan ini semua sama polisi. Coba lihat kasus Mayang kemarin. Polisi bisa apa?” ujar Dira. “Gue akan bantu, Ra, segenap raga gue.” jawab Tia dengan sedih. “Oke, pagi ini gue harus ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Lo juga ikut ya, amati setiap keterangan dari berbagai sumber. Nanti setelah itu, baru kita kumpulin semua keterangan kita dapat.” pungkas Dira. Tak lama telepon pun terputus. Kini saatnya menghubungi Rendra, ujarnya dalam hati. Ia menekan nomor Rendra, namun balasan dari operatorlah yang ia terima, bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. Kemudian ia mencoba mengirim pesan, baik melalui aplikasi pesan online, maupun sms, keduanya sama tidak mendapat respon. Hingga akhirnya Dira menyerah dan memutuskan untuk bersiap-siap ke kantor polisi.

AnagramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang