Jejak

1 0 0
                                    

Anagram #7

Dira tidak tahu harus memulai pencarian darimana, ia tahu polisi pasti juga berusaha mencari tahu tentang kebenarannya. Tapi ia juga harus berusaha tidak mengandalkan mereka. Apalagi sekarang dengan sulitnya Rendra untuk dihubungi, ia tak habis pikir dimana sebenarnya ia berada & apa yang sedang ia lakukan. Tangan kidal ya? Ia mengingat-ingat. Masalahnya mengingat-ingat kembali atau bahkan mengamati untuk mengetahui apakah orang itu bertangan kidal atau tidak memang gampang-gampang sulit. Ia mengambil tali temali dari kejadian Mayang & Agnes, keduanya sama-sama berasal dari rumah singgah ini, untuk itu Dira mencoba menyelidiki warga rumah singgah, walau sebenarnya ia pun tidak yakin apa yang dia lakukan. Ia merasa para warga rumah singgah jelas orang baik-baik, walaupun ada kerusuhan atau pertengkaran kecil, biasanya dalam beberapa hari juga mulai mereda, dan untuk membunuh, tentu mereka tak akan sampai hati melakukannya. Akhir pekan kali ini ia sengaja seharian di rumah singgah, bersama-sama Tia mereka berdua mengamati aktivitas para warga rumah singgah, namun berusaha tetap terlihat tak mencolok. Ya, seperti yang ia duga, tak ada salah seorang warga pun yang bertangan kidal. Persaannya campur aduk, antara sedih & lega. Sedih karena ia belum bisa menemukan pembunuh sahabatnya, namun ia lega bahwa yakin jika warga rumah singgah bukanlah pelakunya. Lalu apa kaitannya lagi dengan rumah singgah ini? Semakin berpikir ia semakin bergidik, jika memang bukan merekalah pelakunya, itu artinya semua warga rumah singgah, termasuk dirinya & Tia ada dalam bahaya. Mereka saling berpandangan saat sampai pada kesimpulan tersebut. “Kita harus kasih tahu sama mereka Ra.” ujar Tia. Dira mengangguk. Mereka berdua mengumpulkan semua warga rumah singgah di ruang duduk, mereka tidak menceritakan semuanya. Tapi mereka meminta agar para warga untuk lebih meningkatkan kewaspadaan diri mereka serta diminta tidak pernah sendirian pergi kemanapun, terlebih lagi saat malam tiba.
Agnes telah selesai di otopsi, jenazahnya kini akan diterbangkan ke luar kota, di kediaman orang tuanya. Dira menyusul kesana, sementara Tia diminta untuk tetap bersama warga rumah singgah. Sesampainya di rumah duka, ia tak kuasa melihat orang tua Agnes, ibunya masih menangis, sesekali ayahnya mengelus pundak ibunya menenangkan. Dengan langkah pelan, Dira menghampirinya “Tante, turut berduka ya Tante, Dira yakin Agnes sudah tenang di sana.” ujar Dira. Ibu Agnes menatap Dira, & mengangguk “Amiin Dira, dia anak baik. Tante yakin pasti dia sudah bahagia.” jawab Ibu Agnes. Dira tahu ini bukan saatnya, tapi ia tak tahu kapan lagi ia bisa memintanya. Dira meminta izin pada orang tua Agnes untuk bisa menyelidiki kamar Agnes, namun ia tidak bilang mau menyelidiki, ia hanya bilang mau mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di apartemen Agnes.

Sekembalinya ke Jakarta, Dira langsung meluncur ke apartemen Agnes, ia tahu ia tak boleh sendirian, karena nyawanya bisa saja terancam. Kala itu sore hari, tapi angin yang melewatinya tetap saja bisa membuatnya bergidik. Justru setelah keluar dari lift lah perasaannya makin tak keruan, ia merasa ada yang mengamatinya, belum lagi kamar Agnes yang terletak di ujung lorong. Oh Tuhan, tak pernah ia mengunjungi apartemen Agnes dengan perasaan sekalut ini, pikir nya. Ia merogoh tas nya, memastikan semprotan merica bertengger aman di dalam tas nya. Dira berjalan terburu-buru, berusaha mencapai kamar Agnes secepat mungkin. Ia tahu cctv memang ada dimana-mana, tapi ia tak yakin cctv mampu menolongnya sebelum hal buruk terjadi. Bahkan derap langkahnya sendiri kini membuatnya ketakutan.

Dengan nafas terengah-engah, akhirnya ia mencapai apartemen Agnes, dibukanya dengan kartu pas sehingga ia dapat masuk dan langsung menutup pintu untuk kemudian bernapas dengan lega. Namun kemudian, berbagai kenangan bersama sahabatnya itu kini berganti menyambutnya. Ia merasa sejak kematian Agnes, pikiran & perasaannya kacau balau. Ia sedih sekaligus takut, tapi ia terus menuntut dirinya agar bangkit & berpikir rasional.
Dilihatnya laptop Anges di meja, ia mengelusnya. Teringat kembali hari-hari bersama sahabatnya itu. Kemudian ia menyalakannya, melihat foto mereka berdua menghiasi dekstopnya. Senyum Agnes merekah, begitu pula dirinya di foto itu. Tak terasa air mata mengalir di pipinya, ia mendesah, merasa sedih sekali karena kehilangan dua orang yang ia cintai, ayahnya & sahabatnya, Agnes.
Ia kembali tersadar, diubahnya settingan view agar semua file nya bisa terlihat. Ia mulai mengobok-obok semua file, catatan atau apapun yang bisa membantunya memberi petunjuk. Ia membuka aplikasi calendar, ia mencoba melihat catatan yang tertera di sana, pada hari kematian Agnes, atau hari sebelumnya. Kemudian hatinya mencelos, saat melihat catatan "Meet with Mr. R, 20.30" Seketika pikirannya beralih ke Rendra. R untuk Rendra kah? Tapi semua menjadi tak masuk akal baginya, kalau memang Agnes melarang dirinya untuk berhati-hati dengan Rendra, mengapa Agnes malah menemuinya? Bukankah seharusnya Agnes malah neghindarinya jika tahu bahwa Rendra adalah orang yg berbahaya?
Kemudian ia mundur lagi mencari catatan sebelum tanggal kejadian, & menemukan catatan di sana. "Tuhan, aku mengetahuinya."
Mengetahui? Apa yang Agnes ketahui? Kenapa ia tidak membicarakan hal ini ke dirinya atau Tia?
Kemudian bunyi ponsel mengagetkan lamunannya. Ada pesan masuk " Ada yang mau gue omongin" matanya terbelalak ketika tahu bahwa pesan itu dari Rendra. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Rendra menghilang begitu saja saat kejadian buruk ini, bertingkah mencurigakan, kemudian mengajaknya bertemu? Kalau memang benar Rendra lah pelakunya, berarti kemungkinan besar dirinya adalah korban berikutnya. Tapi jika ia menolak bertemu, sementara bukan Rendra lah pelakunya, berarti ia tak akan bisa mendapatkan penjelasan apapun dari Rendra, yang mungkin saja sangat berguna untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya. Setelah berpikir matang-matang, akhirnya ia menekan tombol kirim " OK, kita akan ketemu"

AnagramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang