"Dewan! Tipe idaman cewek lo kayak gimana?"
Sebuah pertanyaan keluar sengaja dari Mas Yayan yang tengah duduk berseberangan, bikin gue membulatkan mata. Jujur gue agak kaget sih sewaktu tiba-tiba ditanyai pertanyaan model to the point begini. Kebetulan, kami habis siaran program radio bareng, karena mager pergi keluar jauh-jauh dari wilayah kantor, alhasil kami berakhir duduk di kantin belakang yang lokasinya persis sebelah taman.
"Lo nanya ginian, mau buat apaan, Mas?"
Menyeruput jus jeruk yang sekali sedot tinggal setengah gelas, "Sensus aja."
"Kali ini apa lagi?"
"Ini kok... Gue mau daftarin elo buat aplikasi yang lagi ngetren jaman now, Tinder." lalu kedua alisnya terangkat kompak serta senyum jahil yang disengaja.
Gue mencebikkan bibir diiringi tatapan jijik, "Lo kira gue mau didaftarin aplikasi begituan? No way! Lagian, lo kenapa sih Mas? Giat banget nyuruh-nyuruh gue nyari cewek?
"Loh? Siapa tahu kan? Abis ini banyak cewek-cewek yang ngantri ke elo di sini. Secara nih ya lo itu...."
Mulai lagi deh, Mas Yayan dengan mulut banyak bicaranya itu senang membicarakan kelebihan dan keahlian gue di setiap kesempatan. Di manapun situasinya, kondisinya, pasti ada aja yang dibahas soal tentang cewek. As always.
Berkali-kali dia selalu membujuk gue yang notabene dikenal introvert, buat ikutin arus kehidupan dia yang social butterfly-nya lumayan tinggi—teman ceweknya banyak banget anjir. Ia secara terang-terangan mau membantu gue yang padahal belum tentu butuh bantuan dia.
Nanti nih, tiap abis dia bicara panjang lebar soal perencanaan pencarian pacar untuk Dewan yang hampir mendekati sempurna, pasti ujung-ujungnya gak bakal direalisasiin. I mean, ya udah. Cuma omdo alias omong doang, gak bakal sampai terwujud action-nya. Gue udah gak heran semisal dia bakal nanyain lagi tipe cewek gue kayak gimana di kemudian hari.
"...Udah pinter, anak cumlaude, anak aksel, ye kan? Hidup lo jangan datar-datar amat apa, Dew? Sekali-kali lo keluar dari zona nyaman, cobain patah hati, jatuh hati, gak ada salahnya." panjang lebar dia menjelaskan. Namun gue cuma sahut asal ber-oh-ria aja. Kalimatnya secara otomatis udah terdengar hapal di luar kepala, saking seringnya dia ngomong begitu.
Sementara itu, datang sepasang laki-laki dan perempuan yang masing-masing membawa nampan berisikan semangkuk bakmi dan segelas es teh. Melihat tempat duduk kami yang masih tersisa kosong dua kursi, mereka cekatan berebut tempat duduk layaknya bocah SD yang baru masuk sekolah ajaran baru, yang disuruh masuk lebih pagi supaya dapet kursi paling depan.
"Ini tempatku!"
"Ih gak mau! Aku mau di sini!"
"Ngalah dikit kek, kan aku yang dapetin kursinya duluan. Kamu di samping Dewan aja!"
"San, kamu tuh gak mau ngalahan, ya?"
"Lho kan emang tadi aku duluan yang ngeliat kursi di sini, Me." Kukuhnya masih lanjut berdebat.
"Kalian bisa diem gak?"
Mereka berdua nampak hening saat pria berpipi chubby itu bersuara, "Lo berdua nih ya. Udah numpang, nyolot, berisik pula. Kayak ini tempat punya nenek moyang lo aja." sinisnya.
"Ngiri aja lo, jones!" Ledek si pria yang kebetulan sedang berkepala botak—yang bentuknya kayak tahu bulat yang dijual di abang-abang keliling pake mobil pick up, mana ngomongnya kenceng banget gak pake di-filter pula.
"Yeeeee pake ngatain segala lagi... Eh inget lo, inget! Siapa yang udah bikin kalian deket!"
"Siapa emangnya, Mas Yan?" Kepo gue bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] BAKMI COUPLE - The Announcers Series ✔
General FictionDua tahun menantikan sang pujaan, Dewantara Prasetya Riza (Dewan) dan Medina pun resmi jadian. Disaksikan dua mangkuk bakmi yang mereka nikmati, mereka saling janji untuk selalu mengasihi sepanjang hari layaknya sepasang kekasih. Namun, Dewan yang...