14. Khawatir

64 7 0
                                    

"Ngapa lo, Dew? Dateng-dateng kok mukanya merengut gitu." tanya Mas Yayan sewaktu gue masuk ruang radio. Dia lagi sendirian di sana. Mas Jen sama Mas Sandi rupanya lagi liputan di luar kantor. Mas Yayan kebagian tugas awasin radio aja, peran asisten produsernya sedang dilakoninya.

Gue menginvasi pelan seluruh ruangan yang terlihat hening, sebelum akhirnya mendaratkan bokong di sofa pojok, "Sepi amat ini kantor, kayak kuburan."

"Yeu ngeledek aja lo. Giliran kita lagi rame aja dikira lagi bikin keributan!" sindirnya menimbulkan gelak singkat.

Masuk kantor di Hari Senin emang harus siapin mental. Rasanya pengen hapus Hari Senin agar bisa malas-malasan lebih lama di rumah. Tugas-tugas kantor dan jadwal siaran selama lima hari ke depan terpampang jelas padat di muka. Belum lagi Hari Jum'at besok bakalan ada workshop radio bareng Mas Sandi. Karena termasuk agenda bulanan, bulan ini giliran Mas Sandi yang bakal mengisi workshop-nya. Sedangkan gue bertugas mengurus pendaftaran peserta yang sasaran usianya anak SMA. Seperti biasa, Mas Jen dan Mas Yayan yang bakal urus segala perlengkapan acara. Mereka bakal dibantu juga sama anak-anak magang lainnya.

Nampak laki-laki berbadan besar sedang menguap di meja kerjanya. Ia fokus menonton layar PC besar yang khusus digunakan untuk mengontrol website radio. Suara anak magang lagi siaran terdengar secara jelas dari pengeras suara yang terpasang di sudut ruangan. Baru selesai diputar satu lagu "Girls Like You"-nya Maroon 5, dilanjut "Remaja"-nya Hivi! dan berganti lagi lagu-lagu pop lainnya yang bisa mengisi hawa kekosongan ruangan.

Sebetulnya gue ke sini butuh ketemu seseorang. Tapi berhubung yang dicari sosoknya gak ada, gue akhirnya cuma iseng duduk-duduk main bentar. Untungnya jam 10 pagi gue ada jadwal siaran, seenggaknya ada alasan lainnya buat ke sini pagi-pagi. Di atas meja ada tumpukan majalah lama yang kayaknya punya arsip kantor. Dari edisi terbitnya dicetak sekitar dua tahun yang lalu. Gue mulai membuka majalahnya, terdapat artikel-artikel buatan anak magang yang lolos masuk redaksi hasil suntingan Mas Jen. Gak cuma mereka doang yang kontribusi, ada juga hasil liputan eksklusif yang disusun sama anak radio.

"Kakak lo jadi mudik, Dew?" Mas Yayan mengajak bicara, sembari mengoperasikan mouse yang suaranya sangat cepat dan jelas.

"Jadi, udah dua hari di rumah."

Ia mengintip dari balik layarnya, "Ponakan lucu ada di sini dong?" disebut ponakan lucu karena Mas Yayan waktu itu sering merhatiin gue lagi video call-an di sini sama anaknya Kak Disha. Orang-orang sini udah tahu wajahnya Talistha, sebatas melihat dari layar HP dan hanya bisa melambaikan tangan karena diajak ngomong masih belum ngerti.

"Di rumah, lah." singkat gue.

"Iya. Maksud gue udah di Jakarta, kan? Siapa namanya? Kalistha?"

"Talistha."

Jarinya menjentik sekali, "Iya! Talistha! Ajak main ke sini, Dew! Gue pengen ketemu."

"Terus, abis itu lo mau nyuruh gue nikah?" celetuk gue.

"Nikah? Maksud lo?"

Spontan tangan ini menghentikan aktivitas membuka majalah lembar demi lembar, entah di halaman keberapa. Tiba-tiba sadar sendiri, apa yang gue bilang ke Mas Yayan gak ada hubungannya sama sekali sama perkataan yang ia maksud. Gue menoleh singkat ke jendela yang disorot sinar pagi. Berharap ia tak mendengar kalimat apa yang gue katakan barusan.

Gue menghela napas lumayan panjang hingga sosok yang duduk di meja kerja memicingkan mata, lalu berdiri membawa gelas kopi americano miliknya. Terlihat dari sudut netra, ia melangkah lambat menuju ke arah sini. Suara musik-musik radio tetap terdengar jelas, tapi rasanya terabaikan seperti angin lewat.

[5] BAKMI COUPLE - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang