22. Rela Bahagia

65 7 0
                                    

TW : blood.
















Dewan POV

Gue udah gak bisa menahan lagi segala emosi yang gue sembunyikan di depan Medina. Tambah lagi kejengkelan gue saat dia datang ke rumah tanpa bilang dan selalu sibuk dengan kerjaan rumah yang tak seharusnya dia lakukan.

"Kamu tuh dijodohin, Na."

Satu kalimat menyakitkan yang menghantui gue hingga berminggu-minggu lolos keluar gitu aja dari mulut gue. Nahasnya, gue berbicara di saat satu piring sedang dipegang Medina yang seketika terjun bebas dari tangannya.

Gue mengambil napas dalam-dalam seraya mengibas rambut. Seharusnya gue ajak dia duduk di sebuah ruangan lalu bicara secara empat mata. Gue terlalu cepat bilang karena Medina terus melakukan hal baik yang dimana gue seharusnya tidak bisa mendapatkannya lagi. Gue justru makin sayang dan tak ingin melepasnya jika dia terus memberikan perhatian.

Kekacauan kami di dapur jelas mengundang orang-orang seisi rumah berbondong-bondong datang ke dapur lalu mengerumun di antara kami berdua. Mama yang baru turun tangga berteriak kaget lantaran kondisi lantai yang tercecer piring pecah. Tak hanya itu, punggung kaki Medina turut jadi korban luka berdarah terkena tancapan serpihan. Mbak Wardah yang ingin menolong namun dicegah Mas Sandi supaya tak ikut terkena.

Mama menyuruh gue supaya Medina dibawa ke ruang keluarga agar segera dibersihkan lukanya. Dibantu Wardah, gue mengambil kotak first aid yang disimpan di sebuah laci dekat bawah tangga. Sementara yang lain turut membantu Mama beresin pecahan piring.

Ada Wardah dari belakang gue, "Dew, lo harus ngomong deh kayaknya. Kalian berdua."

Gue berbalik badan setelah obat pensteril luka diambil.

Kalimat pertama yang gue ucap, "Mbak, gue takut."

"Takut kenapa?" cemas Mbak Wardah. Sebagai teman dekatnya Medina, gue memahami maksud dari sarannya. Tanpa niat menghakimi dan menyalahkan, istri Sandi ingin gue dan Medina punya titik terang dari suatu hal yang gue sembunyikan.

"Medina itu perlu penjelasan dari elo. Biar dia tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Gue bukan ikut campur, tapi Medina dari kemarin kebayang terus sama kelakuan lo." tak sengaja ia bercerita kondisi temannya.

"Lo ajak ke kamar, deh. Obrolin berdua."

"Gila lo, Mbak?!"

Dahi gue disentil spontan keras, "Aw!"

"Pantes ya, temen-temen lo pada ribut was-was kalo ngeliat lo pacaran. Emang harus didamping."

"Bukan gitu maksud gue, Mbak. Nanti kalo nyokap gue ngeliat, gimana?" sejenak ia mengerti kemudian sifat telak kenaifan gue.

"Biar gue bilangin. Yang lain juga gue kasih paham nanti." ucapnya gampang.

Gue menghampiri Medina yang duduk di sofa, sedangkan gue duduk dibawah ingin mengobatinya. Kaki yang berdarah sebelah kanan mulai gue bersihkan terlebih dahulu pakai revanol, sekitar dua tutup botol. Terdapat luka goresan sekitar 2 cm, pasti ngilu. Ia pun merintih sakit dengan suara lirih disertai gerik kakinya tak sengaja timbul reaksi.

"Perih?" pelan gue bertanya. Tak ada respons.

Setelahnya gue membalutnya pakai kapas yang telah ditetes obat luka juga kain kassa kemudian diplester agar merekat.

Selama itu Medina diam, ia enggan mengeluarkan suara dengan silent treatment-nya. Gue tahu dia marah karena diam-diam menyimpan sesuatu darinya. Selama ini otak gue selalu ribut berargumentasi soal gimana menyikapi persoalan yang sedang dihadapi, antara terima namun hati gue tak terima. Bila diterima gue juga tak tahu langkah apa yang harus gue lakukan setelahnya.

[5] BAKMI COUPLE - The Announcers Series ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang