∞
Hinata tidak terkejut karena ketahuan menguping. Bukan itu. Rasa gemetar yang melanda tubuhnya jauh lebih mendalam, lebih menyeramkan daripada sekadar malu.
Dia ditemukan tergeletak pingsan—hanya pura-pura, tentu saja—di sebuah taman kecil di kampus. Bersamanya ada seorang pria, yang dari pakaiannya terlihat seperti bagian dari staf pengajar. Namun, fakta bahwa pria itu adalah Profesor Muda di Waseda bukanlah alasan kegelisahan Hinata. Juga bukan karena pria itu mengajar di fakultas tempat kakaknya, Neji, bekerja sebagai dosen juga.
Rasa dingin yang menyusup tulang Hinata datang dari sesuatu yang jauh lebih gelap.
"Hinata, kamu baik-baik saja?" suara Neji memecah kebekuan di ruang kesehatan di kampus itu. Wajahnya penuh penyesalan, seolah menyalahkan dirinya sendiri karena meninggalkan adiknya berkeliaran sendirian. "Kenapa aku harus pergi mengambil materi? Kalau aku tetap bersamamu, ini tidak akan terjadi." Suaranya terdengar rendah, tetapi sarat akan emosi.
Hinata duduk dengan kaku di ranjang, hanya bisa menunduk. Jantungnya berdegup kencang, terlalu keras hingga terasa menyakitkan di dada.
Di sudut ruangan, pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Profesor Uzumaki berdiri dengan ekspresi tak peduli. Tatapannya tajam, tetapi lebih karena rasa kesal daripada simpati. Tidak bisa disalahkan—siapa pun pasti marah jika mendapati seseorang bersembunyi di balik semak-semak, apalagi kalau itu di sekitar taman universitas. Sedikit tambahan, bahwa gadis itu menguping percakapan.
"Profesor Uzumaki," suara Neji memecah ketegangan. Nada bicaranya tajam, hampir seperti teguran. "Apa yang terjadi dengan adik saya?"
Profesor Uzumaki tidak langsung menjawab. Bibirnya mengerut tipis, seolah sedang memilih kata. "Kamu menyalahkanku dengan suara seformal itu?" katanya akhirnya, suaranya terdengar setengah menggoda.
"Aku hanya ingin tahu," Neji balas dengan nada dingin, "apa yang terjadi."
Pria itu berhenti bersedekap dan berdiri tegak, matanya memandang lurus pada Neji. "Adikmu terlalu lama di bawah sinar matahari, dan dia memilih tiduran di semak-semak. Aku hanya mencoba bersikap manusiawi, membawanya ke tempat yang lebih layak," tatapannya beralih ke Hinata yang pucat. "Bukankah begitu, Nona?"
Hinata mengangkat wajahnya perlahan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sorot matanya bertemu dengan Profesor Uzumaki, dan seketika bayangan itu kembali: karakter dalam novel BL yang pernah ia baca di masa SMA. Nama pria itu sama persis. Wajahnya? Mengerikan—terlalu mirip dengan tokoh pembunuh yang tega menghabisi siapa pun yang menghalangi cintanya.
Sebuah angin dingin seolah berembus melewati ruangan medis itu. Hinata merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
"Neji, sebaiknya kita pulang," katanya dengan suara bergetar.
Neji menatapnya, khawatir, tetapi akhirnya mengangguk. "Baik. Kita pulang sekarang."
Mereka meninggalkan ruangan itu dengan langkah tergesa. Di belakang mereka, Profesor Uzumaki hanya menggeleng pelan, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu—sesuatu yang membuat Hinata tidak berani menoleh ke belakang.
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa berat. Neji yang biasanya banyak bicara, hanya fokus menyetir, sementara Hinata berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Hinata," suara Neji akhirnya memecah keheningan. "Apa kita perlu ke rumah sakit? Kamu kelihatan kurang baik."
"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Hinata buru-buru. "Hari ini memang sangat panas, itu saja."
"Tapi kenapa kamu bisa ada di semak-semak?" Nada suara Neji berubah jadi lebih tajam.
"Itu... Aku pikir itu tempat paling nyaman," jawabnya pelan. Hinata tahu betul itu jawaban bodoh, tetapi dia tidak punya alasan lain. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia sedang menguping percakapan rahasia dan panik saat ketahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separated of Fate
Fanfiction[Publikasi awal 2021 - 護衛する (Goei Suru / Escort)] [Pembuatan ulang 2024 - On Karyakarsa] Hinata, seorang karyawan biasa yang kelelahan setelah bekerja seharian, tiba-tiba mengalami kecelakaan tak terduga dalam perjalanan pulang. Namun, alih-alih men...