∞
Di dunia yang membingungkan ini, Hinata merasa lebih gerah dari sekadar cuaca musim panas.
Hinata mencoba mempertahankan ekspresi tenang di tengah makan malam yang terasa seperti neraka pribadi. Malam itu seharusnya indah—taman luas dengan lampu-lampu kecil berkelap-kelip, suara musik lembut dari panggung kecil, dan keluarga berkumpul di sekitar meja. Namun sebaliknya dari semua kemegahan itu, pakaian super tertutup yang dikenakannya di tengah panas menyengat, membuatnya seperti dipanggang hidup-hidup.
"Agar terlihat anggun," kata Neji tadi, dengan nada datar yang membuatnya ingin mencekiknya di tempat. "Ibu dan Ayah tidak akan suka jika kamu memakai sesuatu yang terlalu terbuka."
Aku lebih baik dimarahi karena melawan daripada jadi sauna berjalan seperti ini.
Punggungnya basah oleh keringat, sementara telapak tangannya menggenggam sumpit dengan gemetar. Kalau ini terus berlangsung, mungkin dia benar-benar akan pingsan. Pandangan matanya beralih ke panggung kecil, tempat suara nyanyian yang tidak henti-henti itu menghancurkan sisa ketenangan yang coba dipertahankannya.
Bisakah kalian berhenti bernyanyi? Cukup sudah penyiksaan malam ini.
"Hinata, apa kamu baik-baik saja? Ada yang tidak kamu sukai?"
Suara lembut itu datang dari Hikari, wanita yang mengaku sebagai ibunya di dunia ini. Wajahnya sangat sempurna—bulat dengan garis dagu halus, mata yang berkilauan lembut, dan senyum yang bisa menenangkan badai. Namun bagi Hinata, wanita ini hanyalah tambahan keanehan di tempat ini. Apa mungkin ibunya di dunia nyata secantik ini? Rasanya mustahil.
"Aku lebih tidak suka dengan musiknya," jawab Hinata dengan jujur, tanpa sempat berpikir panjang.
Kata-kata itu adalah kesalahan fatal. Suasana meja makan mendadak membeku, dan semua mata kini tertuju padanya. Bahkan Neji, yang biasanya dingin, kini memelototinya dari sudut meja seperti mengatakan, Kamu gila?
Hiashi, pria tegas yang menjadi ayahnya di dunia ini, mengangkat tangan dengan sikap anggun namun penuh wibawa. "Hentikan musiknya. Malam ini cukup sampai di sini."
Hinata membelalak. "Apa aku baru saja membuat kalian tersinggung?"
"Tidak, Sayang," jawab Hikari sambil tersenyum, seolah-olah putrinya baru saja melakukan sesuatu yang menggemaskan. "Ini pertama kalinya kamu berbicara jujur tentang ketidaknyamananmu. Biasanya kami harus menebak-nebak apa yang membuatmu tidak senang. Kami sangat bangga padamu."
Apa? Bangga? Aku seharusnya ditarik keluar dari acara keluarga ini, bukan dijadikan bahan pujian.
Di sisi lain, Neji tampak mengusap wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghilangkan rasa malu yang baru saja ditimbulkan Hinata.
Pikiran Hinata mulai mengembara, mencoba mencerna absurditas situasi ini. Nama-nama seperti Hyuuga, Neji, bahkan Naruto dan Gaara yang muncul di pikirannya belakangan, terasa seperti potongan-potongan puzzle yang tidak cocok dengan cerita yang dia kenal.
"Apa jangan-jangan aku sedang di dalam dunia novel atau cerita lain?" gumamnya, tanpa sadar melontarkan pertanyaan itu ke udara. "Sebagai orang ketiga yang aneh."
Sekali lagi, semua orang menatapnya.
"Orang ketiga?" tanya Hikari, bingung.
Hinata terkejut sendiri mendengar gumamannya, lalu buru-buru menutupinya dengan tawa canggung. "Tidak, tidak... Aku hanya mengingat plot dari sebuah novel."
"Oh! Jadi kamu suka novel romantis, Sayang? Kenapa tidak bilang dari awal?" Hikari langsung bersinar penuh semangat, beralih dari ibu anggun menjadi promotor novel. "Apa kamu mau rekomendasi? Aku tahu beberapa penulis hebat!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Separated of Fate
Fanfiction[Publikasi awal 2021 - 護衛する (Goei Suru / Escort)] [Pembuatan ulang 2024 - On Karyakarsa] Hinata, seorang karyawan biasa yang kelelahan setelah bekerja seharian, tiba-tiba mengalami kecelakaan tak terduga dalam perjalanan pulang. Namun, alih-alih men...