BAB 4

233 71 0
                                    

Ponselnya terus berdering, memecah keheningan perpustakaan yang biasanya menenangkan. Nada dering itu menghantui udara, seperti suara yang tak henti-hentinya memanggil untuk diperhatikan. Naruto hanya melirik sekilas, dingin dan penuh pengabaian, lalu kembali menunduk pada buku-bukunya. Namun, ada sesuatu dalam tatapan sekilas itu—seperti badai yang menunggu saat yang tepat untuk menerjang.

Satu jam berlalu, dan akhirnya dia menyerah. Tarikan napas panjangnya terdengar berat, seperti menanggung beban yang tak terlihat. Dengan gerakan lamban, dia menutup buku-bukunya, bersandar dengan lelah, lalu meraih ponselnya. Panggilan itu diangkat tanpa semangat.

"Kenapa telepon terus?" gumamnya, suaranya penuh ketidaksabaran yang sengaja dipendam. Matanya melirik gugup ke sekitar. Ini perpustakaan—bukan tempat untuk amukan, bahkan jika hatinya ingin berteriak. "Aku akan datang tepat waktu. Jangan khawatir."

Ketika panggilan berakhir, ponselnya diletakkan kembali dengan gerakan yang hampir kasar. Namun sebelum ia sempat kembali pada buku-bukunya, Gaara, temannya, muncul dengan langkah yang tenang. Dia menarik kursi, duduk di seberang Naruto, dan langsung menatapnya tajam.

"Ibumu lagi?" tanya Gaara dengan nada datar, tapi ada bekas luka kelelahan di balik matanya yang membuat pertanyaan itu terasa lebih berat.

"Iya. Dia... makin tidak kenal batas sekarang," jawab Naruto singkat, tatapannya tertuju pada jendela jauh di belakang Gaara.

"Seharusnya kamu pergi saja. Aku juga tidak akan pulang ke apartemen malam ini, ada urusan."

Naruto mendongak perlahan, menatap Gaara dengan pandangan yang tajam seperti mata pedang. "Tapi kamu baik-baik saja?"

Gaara mengangkat bahu. "Buruk."

"Mereka lagi?" Naruto menduga, alisnya berkerut.

Gaara menghela napas panjang, menunduk sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tapi mereka tidak separah dirimu saat merundung seseorang."

"Aku? Merundung? Kapan aku melakukan itu?" Naruto membantah, meski sorot matanya jelas-jelas tidak tertarik pada percakapan ini.

"Gadis di taman kemarin?" Gaara menyeringai kecil. "Kamu membuatnya pingsan."

"Dia tidak pingsan, tetapi pura-pura pingsan," Naruto menjawab santai.

Namun, suasana mulai berubah. Perhatian Naruto tertuju ke jendela, di mana seorang gadis tampak mondar-mandir di luar. Langkahnya ragu, seperti sedang diliputi oleh kegelisahan.

Naruto berdiri tanpa peringatan, membuka jendela dengan sekali dorong. Udara panas menerobos masuk, tapi dia tidak peduli. "Kita bertemu lagi," katanya dengan nada yang sulit ditebak.

Hinata terlonjak. Tubuhnya seolah membeku, ketahuan sedang berkeliaran tanpa arah.

"Apa kali ini kamu juga akan pingsan?" goda Naruto, senyuman tipis terlukis di wajahnya. "Maaf, aku terlalu lelah untuk membawamu ke ruang kesehatan kali ini."

"Siapa yang mau pingsan!" teriak Hinata tiba-tiba, suaranya seperti petir kecil yang mengejutkan seisi perpustakaan. Tatapan murka beberapa mahasiswa yang sedang belajar menghujani dirinya.

Gaara muncul di belakang Naruto, menatap Hinata dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Bukankah dia gadis kemarin?" tanyanya ringan. "Kamu adiknya Neji, bukan?"

Wajah Hinata mendadak memerah, panas membakar hingga ke ujung telinganya. Dia mengenaliku! pikirnya, hatinya berdebar kencang hingga rasanya hampir melompat keluar. Gaara adalah karakter favoritnya di novel yang dibacanya itu, karakternya penuh kelembutan yang dibalut misteri—baru saja berbicara langsung padanya. Saat itu, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Suara riuh kampus, desau angin, semuanya lenyap, menyisakan hanya detik-detik penuh keajaiban ini.

Separated of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang