BAB 6

284 75 1
                                    

CATATAN:

✨Halo pembaca tersayang, baca lebih cepat di Karyakarsa.

Begitu Naruto berdiri di depan lemari, seolah-olah seluruh dunianya membeku dalam diam. Bayangan ibunya menyeruak tanpa ampun, seperti tamparan yang datang tanpa peringatan. Kata-kata yang pernah diucapkan wanita itu melayang di atas kepalanya, suaranya bahkan bergaung di dalam benak, menembus ruang hampa yang tak kasat mata. 

Dalam sekejap, dia dapat merasakan sesak karena ucapan ibunya. Mungkin bagi orang lain, seruan ibunya bukan sesuatu yang mengerikan, tapi tetap saja baginya hal itu menjadi penekanan yang memusingkan. Pernikahan hampir tidak pernah Naruto pikirkan.

Pandangan matanya jatuh pada turtleneck yang tergantung di depan. Musim panas yang terik membuat kain tebal itu terasa konyol, sementara baginya, baju itu terasa lebih formal untuk dikenakannya di mana pun—dia terbiasa mengenakannya dalam cuaca apa pun. Bukan berarti dia sebagai pria tanpa fesyen. Ia hanya butuh kepraktisan dalam hidupnya. Tidak peduli bahkan di pesta malam ini dia harus mengenakannya. Naruto akhirnya menarik napas panjang, berusaha mengusir kabut yang mulai memenuhi pikirannya—mengembalikannya pada realitas yang sulit ia sangkal.

Pada akhirnya, dengan gerakan kaku, Naruto mengembalikan turtleneck itu ke dalam lemari. Jemarinya yang sedikit gemetar, menyentuh kain putih dari sebuah kemeja tipis. Entah kenapa, benda itu terasa lebih tepat. Turtleneck adalah kebiasaan lama, teman setianya sejak masa kuliah di Rusia. Di tengah musim dingin tanpa akhir, pakaian itu adalah perisai. Namun sekarang, di Jepang, kebiasaan itu sebaiknya memang harus dikurangi.

"Kamu menyempatkan ke kampus?" suara Gaara tiba-tiba memecah lamunannya. Ada nada heran dalam pertanyaan itu, bercampur sedikit rasa ingin tahu, saat Gaara melihat Naruto memasukkan buku-buku materi ke dalam tas. "Acaranya kan nanti malam. Hari ini seingatku kamu tidak ada jadwal mengajar."

Naruto mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan keresahan yang mulai merayap. "Aku mau berencana pergi ke salon sebentar," jawabnya, suaranya hampir terlalu santai.

Gaara mengernyit, matanya menyipit penuh curiga. "Kamu tidak memotongnya sendiri? Biasanya kamu mengurus semuanya sendiri, bahkan rambutmu."

Naruto mendesah pelan, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. 

"Mau aku rekomendasikan tempat?" Gaara terus mengejar, nadanya berubah, seperti mencium sesuatu yang tidak biasa.

Dengan gerakan mendadak, Naruto berbalik, menatap Gaara dengan tatapan yang lebih tajam dari biasanya. "Kamu mau merekomendasikan tempat aneh?"

"Aneh bagaimana? Aku ini kekasihmu! Percayalah sedikit padaku. Begitu, 'kan?" balas Gaara dengan nada main-main yang bercampur ekspresi sok tidak percaya. Ekspresi itu hampir memancing tawa, tapi Naruto hanya bisa meringis. "Serius, tempat ini terkenal. Mereka ahli. Kalau kamu bingung potongan apa yang cocok, percayakan saja pada mereka."

Naruto mengerutkan dahi, masih meragu. "Yang jadi masalahnya, mau potongan seperti apa pun, tampan tetap saja tampan, 'kan?"

Gaara mendengkus, ekspresi jijik menghiasi wajahnya. "Astaga, narsismu kambuh lagi! Kamu terlalu percaya diri."

Naruto tersenyum tipis, akhirnya mengalah. "Di mana tempatnya?"

"Di Omotesando," jawab Gaara, nadanya lebih serius. "Tempatnya modern, kebanyakan pria potong rambut di sana." Saat melihat Naruto menatapnya dengan sorot curiga, Gaara buru-buru menambahkan, "Ini cuma tukang cukur, Naruto. Jangan berpikir yang aneh-aneh."

Naruto terdiam, mencerna kata-kata itu. Ada sesuatu di balik saran sederhana itu, seolah Gaara sedang membantunya lebih dari sekadar memilih tempat potong rambut. "Yakin tempatnya oke?"

Separated of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang