Bagian 4 - Takat

35 12 0
                                    

Cerita sebelumnya

Setibanya kami dirumah, aku dan ibuku lekas membersihkan tempat dan barang-barang yang dibawa, seketika duduk di dipan kamarku untuk menghela nafas sejenak, aku kepikiran dengan ucapan ibu " walau bagaimanapun kamu harus tetap ngomong sama dia, jujur sama dia apa yang sebenarnya terjadi, akan lebih sakit apabila kalau sampai dia tau dari orang lain dan kamu akan di anggap berbobong, mau sampai kapan kamu lari dari masalah ini sendiri itu tidak akan menyelesaikan nya, justru akan menambah kerusakan hubungan kalian nantinya" jujur, aku kepikiran terus dengan kalimat itu, dengan memaksakan diri untuk berani, akhirnya aku memutuskan untuk mengaktifkan kembali handphone yang telah mati dari sejak aku di jogja.

Betapa terkejutnya diriku, ketika handphone ku aktif, handphone ku langsung berdering dan menerima panggilan dari nya.

"Hallo!"

"Biiilll!!! Nabilaaa!!!!"

"kamu dimana bila? Nomor kamu sebelumnya kok nggak aktif? Aku datangin kerumah mu juga kosong! nggak ada orang dirumah, Kamu kenapa sih? Ada apa??

"Bill!! Bilaaa!!! Ngomong, ada apa???" ucap robin ketika meneleponku yang langsung terangkat, ia menanyakan perihal apa yang terjadi sebenarnya, karena tidak biasanya aku seperti ini.

Seketika air mata ku tak terbendung lagi, mengalir terus tanpa kendali, ku coba tahan air mata ini agar tak semakin deras mengalir ke pipi, namun dada ini rasanya sesak dan bibir ini kaku, seperti memberi isyarat bahwa raga yang ku punya sekarang rasanya tak sanggup lagi menahan perih.

"Nabillaaa.. tenang ya, jangan nangis dulu, pelan-pelan! Atur nafasnya pelan-pelan, di kontrol oke!" robin berusaha untuk menenangkan aku. Seperti biasanya, pria ini memang selalu bertindak untuk tidak gegabah dan membuat suasana seolah tidak ada apa-apa serta terlihat baik-baik saja. Ia selalu selalu melakukan hal yang demikian tujuannya agar apa yang terjadi tetap bisa kondusif dan aku nya juga bisa merasa lebih tenang untuk bisa menjelaskan. Sebenarnya bukan hanya itu, salah satu cara yang membuat aku bisa tenang ketika di samping nya adalah pelukan hangatnya dari belakang serta bisikan nya yang lembut terucap di telingaku "everything is gonna be oke! Semuanya akan baik-baik saja", itu terus yang selalu di lakukan pria bermata sipit itu untuk mengobati rasa khawatir yang berlebihan dihidupku.

Namun ini kasusnya berbeda, waktu itu robin mungkin memang selalu ada di samping aku ketika aku membutuhkannya, namun sekarang? Sekarang aku di tuntut untuk bisa berdiri sendiri tanpa harus ada tangan robin untuk menopangnya. Sulit dan tidak mudah itu yang aku alami, namun itu kenyataannya, kenyataan yang dimana aku harus bisa terima dan menjalaninya. Tapi aku mencoba untuk realistis dengan apa yang terjadi, seperti yang ibu katakan, aku harus jujur dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada robin, mengungkapkan dengan orang yang kita cintai itu seperti menelan pil pahit, pahit tapi harus dikatakan, karena jika tidak maka akan sakit berkepanjangan.

Dengan arahan robin, aku mencoba untuk menghela nafas dan mengaturnya perlahan-lahan agar bisa menceritakan sedikit demi sedikit tanpa ada jeda isak tangis yang mengganggu di ceritaku kedepan.

"bil, sebenarnya apa yang terjadi"? dengan keadaan ku yang sudah mulai stabil, robin secara perlahan mencoba untuk menanyakan kembali perihal apa yang sebenarnya terjadi.

"aku sekarang di balikpapan?" terangku

"di Balikpapan? Kok nggak cerita sih? Kapan kamu balik ke jogja?" tanya robin dengan sedikit bingung

"aku nggak akan balik lagi kesana bin!"

"hah, maksudnya gimana? Jangan ngaco deh, sebenarnya ada apa sih bil?"

"sulit untuk aku bisa jelaskan sekarang bin, intinya adalah orangtua aku pisah karena ayahku selingkuh dengan wanita lain, dan sekarang aku ikut ibuku ke Balikpapan dan bakal menetap disini"

"ini apa-apaan sih, nggak semudah itu dong bil, terus sekolahmu gimana?" tanya kembali robin dengan perasaan penuh emosional

"sekolahku sudah di urus semuanya sama om husein anak buahnya ibuku, di jogja sudah clear pengurusan surat dan segala administrasi, dan aku akan pindah sekolah disini".

"kenapa jadi dadakan gini sih? Kenapa kamu nggak ngomong dari awal? kenapa aku harus tahu ketika kamu sudah di Balikpapan?"

"maaf bin, aku cuma nggak mau kecewa dengan apa yang terjadi sekarang"

"kecewa? Sekarang aku lebih dari kecewa bil! Aku merasa di bohongin dan merasa bukan siapa siapa kamu, aku merasa nggak guna di hidupmu!"

"nggak gitu bin, nggak! aku nggak sanggup mau ngomong, hati ini terlalu hancur berkeping-keping sampai aku bingung aku harus ngapain!"

"ya kalau kamu merasa hancur dengan keadaan sekarang bukan berarti aku juga harus jadi korban dong bil, aku ini pacar kamu aku butuh cerita kamu supaya aku bisa bantu kanu, bukan malah aku juga di tinggalin dan di kasih kabar ketika kamu sudah pergi!"

Suasana begitu emosional akibat perasaan yang sudah terlanjur hancur, sehingga membuat percakapan menjadi tidak kondusif.

"aku nggak bermaksud gitu bin! Tolong jangan mikir yang begitu dong, aku cuma butuh waktu untuk ngomong, bukan nggak mau ngomong sama sekali jadi tolong, ngertiin posisi aku"

"sorry bil, aku terbawa suasana, nggak seharusnya aku keras begitu dengan keadaanmu yang sekarang, jadi sekarang gimana? Kita tetap biasa saja kan?"

"aku mau kita pisah bin, aku mau kita sampai disini saja!" aku tahu ini keputusan yang berat dan aku juga tahu kalau aku tidak berfikir panjang, namun mungkin ini adalah keputusan yang baik buat kita, terutama buatmu.

"Bil! Jangan gila dong, nggak semudah itu ngomong pisah, ini apa-apaan nggak lucu taulah!"

"aku serius bin! Ini sudah jadi keputusanku, dan aku yakin ini memang jalannya"

"Bil, tapi bagaimana dengan kita?"

Rencana kita? semuanya? Apa harus berakhir dan hanya akan menjadi sebuah rencana saja?

"Bin, ada banyak hal terjadi di bumi ini atas kehendak sang pemilik, peran kita hanya sebagai manusia, tentu-nya jangan melangit"

"kita tidak boleh egois bin, kita sebagai manusia hanya punya rencana, sedangkan Tuhan yang menciptakan kita, menciptakan semesta, dia yang punya takdir! Dialah yang akan mengatur hidup kita untuk menjadi bagian isi nya yang lebih menarik, aku yakin di balik skenario yang Tuhan buat untuk kita, ini akan menjadi kebaikan kita masing-masing dalam menjalin cinta seutuhnya".

"Bil, tapi nggak bisa gitu dong bil, kita bisa selesaikan masalah ini berdua dengan baik-baik, tanpa harus ada kata pisah diantara kita, ini kan hanya masalah jarak bil, kita bisa atasin lewat suara, ayo dong bil, bukan gini caranya!"

"maaf bin, salah nya aku terlalu cinta sama kamu, sehingga hati ini rasanya hancur ketika kamu membalas cintaku hanya melalui jarak tanpa aku disisimu, aku tidak ingin kamu terluka dan kecewa yang aku inginkan adalah kebahagiaanmu seutuhnya, selamat tinggal Robin".

Bila, bill!! Nabila!!!

Tut...tuttt....tutttt (panggilan tertutup)

Di dalam ruangan, tempat aku menidurkan segala mimpi buruk, aku menangis sekencang-kencangnya, merintih dan berteriak agar semesta tahu bahwa aku sebenarnya tidak setuju dengan keputusanku sendiri, aku benci dengan apa yang terjadi, aku ingin semuanya ini kembali tanpa ada hati yang patah lagi, namun nampaknya itu tidak akan pernah terjadi, karena semua sudah terlanjur dan aku sendiri yang memutuskan, aku juga yang akan menanggung penderitaan rasa sakit ini, aku yang akan menjalankan hidup dan biarkan aku berjalan di atas batang duri mawar serta menikmati seperti apa rasanya di ambang kehidupan namun hatinya mati.

PEMERAN PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang