[13. Dilema]

574 70 1
                                    

Pagi hari di kediaman rumah Nana, pada saat matahari baru saja naik Nana menemukan Naura di meja makan, sedangkan Ibu bersama Caramel tengah memasak untuk sarapan. Awalnya Nana terkejut ketika menemukan perempuan itu tersenyum padanya dan mengucapkan selamat pagi untuknya, kesadarannya saat itu masih setengah, bahkan ia keluar dari kamar hanya menggunakan sebuah boxer hitam tanpa atasan. Setelah ingat dan sadar sepenuhnya barulah ia mengerti kenapa Caramel bisa berada di rumahnya pagi-pagi sekali.

"Aa, pake baju yang bener. Nggak malu di sini ada pacarnya juga." kata Ibu, ia menyimpan mendoan di atas meja.

"Belum berangkat kerja, Neng?" tak menghiraukan perkataan Ibu, ia malah menanyai adiknya.

Naura hanya menatap sekilas, mulutnya sengaja dipenuhi mendoan agar ia punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan kakaknya itu.

"Makan pelan-pelan, nggak bakal kehabisan kok, Ibu soalnya buat banyak hari ini." kata Ibu menepak tangan Naura yang baru saja akan mencomot kembali mendoan.

Nana menghela napas, ia mengerti kenapa Naura bersikap sedemikian, mungkin adiknya kembali enggan untuk bicara padanya.

"Berangkatnya sama Aa aja, Aa anter ke tempat kerja kamu."

"Nggak usah." tolak Naura terdengar begitu ketus.

"Ra..."

"Aku bisa berangkat sendiri."

Lantas dengan begitu saja Naura berdiri dari duduknya, ia melangkah begitu cepat meraih pintu untuk menghindar dari kakaknya. Nana tak kalah bergerak cepat ke kamarnya hanya untuk mengambil selembar kaos dan kunci mobilnya.

Ibu dan Caramel hanya saling berpandangan, bertanya-tanya kenapa kakak-beradik itu terlihat sedang bertengkar, padahal hari masih terlalu pagi dan begitu cerah untuk diawali dengan pertengkaran.

"Naura,,,, Ra." Nana meraih tangan Naura yang kemudian langsung di tepis oleh adiknya itu.

"Aku bilang aku bisa berangkat sendiri A." napas Naura memburu, antara kesal dan ingin menangis. "Biarin aku sendirian."

"Mau sampai kapan kamu kayak gini? "

"Sampai Aa sadar kalau yang di bilang Aa semalem itu salah."

Kemudian ingatan Nana melayang pada malam kemarin, di mana ia duduk berdua di teras rumah bersama adiknya ketika Caramel dan Ibu telah tidur.

"Namanya Vana kan yang bilang sama kamu?"

"Kok Aa tau?"

Malam itu angin berhembus kencang, namun dinginnya tak menggentarkan dua bersaudara itu bangkit dari duduknya. Malah keduanya semakin larut dalam sebuah obrolan.

"Tapi aku seneng, rasanya lega. Ternyata aku cuma salah paham sama Aa, mana mungkin Aa ku yang ganteng ini kayak yang dibilang Vana si nenek lampir sok kecantikan itu."

Nana menunduk, ada sebagain dari hatinya turut lega dan bersedih, lega karena adiknya mau bicara lagi padanya. Sedih karena adiknya tidak bisa menerima dia yang seperti itu.

"Maafin aku ya, A. Aku udah nuduh Aa yang nggak-nggak."

Kemudian Nana hanya menarik senyum paksa.

"Oh iya, tadi Teh Caramel bilang kalau dia mau tinggal sementara di sini. Ih seneng banget aku jadi ada temennya deh di sini." katanya kegirangan.

Nana hanya diam, pandangannya menatap pada rembulan yang meredup dilalap awan hitam selayak hatinya yang muram.

"Kalau Aa bilang, yang dibilang Vana itu bener, gimana?"

Senyum Naura memudar, lalu menoleh ke samping menatap wajah kakaknya.

"Bercandanya nggak lucu A."

Bahkan ia baru sadar sedari tadi yang menarik senyum cerah hanya dirinya, kakaknya itu terlihat begitu muram.

Backstreet| ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang