[12. Hari yang terasa melelahkan]

541 71 1
                                    

Hampir tiga tahun gadis itu lenyap begitu saja, tak ada kunjungan atau sebuah pesan. Nana sudah menyerah dan putus asa, lantas mengikhlaskan kepergiannya. Namun ternyata ketika ia sudah tabah merelakan, gadis itu muncul kembali di hadapannya, sedang tersenyum seolah semuanya tampak baik-baik saja.

Beberapa waktu yang lalu padahal Nana bersama Jeno tengah merapikan pakaiannya ke dalam koper. Hari ini Nana memang berniat berkunjung ke rumahnya untuk memberitahu Ibu bahwa dua hari lagi ia akan berangkat ke Jerman, namun sebelum ia berangkat ke rumah tiba-tiba Ibu menelponnya, Ibu bilang di rumahnya ada seseorang yang mau bertemu.

Dan ya, orang itu Caramel, seolah semuanya tak terjadi apa-apa, seolah ia tak pernah menghilang dan pergi dari laki-laki itu, Caramel berhambur memeluknya, sedangkan Nana hanya bisa bergeming di tempatnya.

Sore ini di teras belakang rumahnya mereka duduk, ada jarak ketika ia memutuskan duduk di paling pojok dekat tembok sedangkan Caramel ia biarkan sendirian di tengah sana.

"Aku minta maaf buat semua yang udah terjadi." Caramel adalah orang pertama yang bersuara.

Nana menelisik jauh pada daun-daun gugur terbawa angin. Seandainya Caramel tak pernah pergi darinya mungkin ia tak akan pernah sekecewa ini.

"Aku nggak butuh maaf dari kamu, yang aku butuhin penjelasan kenapa kamu pergi gitu aja, tanpa pamit, tanpa kabar, ngilang dan datang kayak nggak pernah berbuat apa-apa."

"Aku minta maaf karena aku tahu aku salah, Na." Caramel menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan laki-laki itu. "Perusahaan keluargaku bangkrut, Ayah punya banyak hutang ke rentenir buat bayar hutang perusahaan dan gaji karyawan. Kamu ingat terakhir kita saling ngasih kabar? Hari itu semua fasilitas yang aku punya diambil Ayah, semua nggak tersisa."

"Terus kenapa kamu nggak berusaha buat ngehubungin aku? Atau minimal kamu ke rumah, kamu bisa bilang ke Naura atau ke Ibu."

"Kamu gampang banget ya ngomong kayak gitu. Aku punya rasa malu, aku nggak mungkin dengan tiba-tiba datang ke sini sedangkan kamu sendiri waktu itu ada di Bandung."

"Tapi seenggaknya, selama hampir tiga tahun kamu nggak ada waktu buat hubungin aku?" Nana hampir meninggikan suaranya. "Yang aku heranin dari kamu tuh itu, sampai nggak sempet buat ngasih kabar."

"Aku nggak ada hp——"

"Jangan alasan nggak ada hp, zaman sekarang warnet banyak."

Caramel menghela napasnya rendah. "Kamu bener, aku emang nggak ada waktu buat hubungin kamu, semua waktu yang aku punya aku pakai buat mencari Ayah sama Bunda yang tiba-tiba kabur ninggalin anaknya sendirian dengan lilitan hutang sana-sini, lari dari kota ke kota lain cuma buat ngehindar karena aku belum bisa bayar hutang-hutang Ayah ke rentenir itu."

Nana menoleh, kemudian ia menemukan perempuan itu menangis tanpa suara, wajahnya terlihat begitu sendu seakan ia membawa begitu banyak kesedihan.

Bagaimana pun juga ia tak pernah tega melihat perempuannya menangis, Nana akhirnya menggeser duduknya lebih dekat, ia membawa Caramel dalam dekapannya.

"Maafin aku, Na... Maaf..." katanya lirih seperti merintih dalam tangis. "Aku janji, aku nggak bakal ninggalin kamu lagi, aku nggak bakal ngilang lagi dari kamu, maafin aku, Na."

"Iya, udah jangan nangis, aku maafin."

"Kita bisa kayak dulu lagi kan, Na?"

Nana kembali menelisik jauh, kali ini perpandang pada langit yang mulai petang, pada matahari yang mulai terbenam, pikiran Nana melayang pada Jeno. Kira-kira sedang apa laki-laki itu sekarang?

"Na?"

Nana terkesiap. "Apa? tadi kamu ngomong apa?"

"Kita bisa kayak dulu lagi kan?"

Backstreet| ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang