Satu

107 11 25
                                    

Kedua tangannya berusaha menutup masing-masing sisi indra pendengaran. Matanya memejam, tubuhya sedikit bergetar menahan tangis yang tak bisa diluapkan, bersandar pada daun pintu kamar dengan posisi terduduk di lantai. Kedua kakinya menekuk menempel pada tubuh bagian depan.

Gadis kecil itu masih belum paham dengan apa yang sedang dilakukan kedua orangtuanya di luar sana, dia tidak ingin tahu, dia hanya ingin mereka berhenti mengeluarkan suara-suara yang menakutkan. Suara kaca yang pecah, suara pukulan tangan, bahkan beberapa benda terbentur dinding dengan cukup keras.

Ingin sekali gadis itu pergi dari kamar kecilnya, jika saja jalan keluarnya tidak melewati ruang tengah di mana kedua orangtuanya sedang berada di sana.

Ingin sekali gadis itu berteriak menghentikan pertengkaran kedua orangtuanya. Namun nyalinya tidak sebesar itu, dia hanya bisa berdiam diri sambil menahan rasa panas di bagian kelopak matanya yang sudah mengeluarkan air mata entah sejak kapan. Isak tangisnya bahkan tidak terdengar sama sekali, dia menahannya.

Setelah semuanya berhenti, hingga tidak ada suara apapun lagi di luar sana, gadis itu mulai menangis dengan suara yang cukup keras. Dia tidak perduli entah di luar sana masih ada orang yang bisa mendengar tangisnya, saat ini dia hanya ingin menangis.

"Lunar, bangun udah jam 7, nih."

Lunar baru menyadari jika dirinya sudah berada di atas tempat tidur, kemudian terbangun dengan posisi duduk. Satu tangannya mengusap kedua matanya supaya bisa terbuka sempurna. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Mimpi itu lagi."

"Siapa yang mindahin gue ke kamar?" tanya Lunar pada Mita--saudaranya--setelah siap dengan seragam sekolahnya. Mita berdecak, "lo yang jalan sendiri, menurut lo gue sanggup angkat badan lo yang berat itu?"

"Kok, gue gak inget, ya?" Lunar mengingat-ingat kejadian semalam. Dia ingat, setelah menonton tv dia tertidur di kursi. "Lo, kan pikun," jawab Mita dengan potongan roti di dalam mulutnya.

"Udahlah, gak usah dipikirin, Dimas udah nunggu dari tadi, tuh, lo mandinya lama banget."

"Dimas?" Lunar cukup terkejut, "astaga, kok, gak bilang udah dateng, si, aduh." Lunar segera bergegas mengambil tasnya dan pergi menemui Dimas yang sudah menunggu di luar rumah.

"Sorry, ya, gue lama."

Kemudian mereka berangkaat ke sekolah bersama.

"Sabtu depan, kamu ada acara, gak?"

Lunar sempat berfikir sebelum menjawab pertanyaan Dimas dia mengingat ada kegiatan apa yang akan dia lakukan di hari sabtu ini. "Gue ada pertandingan voli, emang kenapa?"

"Oh, enggak apa-apa, kok. Nanti saya ikut nonton, ya?"

Lunar hanya mengangguk saja,"boleh, emang gak ada jadwal band?"

"Ada, sih."

"Terus?"

"Bisa setelah nonton pertandingan kamu."

Mereka sampai tepat di depan sekolah Lunar, beberapa murid terlihat mulai berlarian dari jauh karena sudah hampir menjelang bel masuk. "Nanti gak usah jemput, ya. Gue harus latihan sampe malem. Pulang sama temen," ujar Lunar setelah melepas sabuk pengamannya dan segera pergi usai mendapat anggukan dari Dimas.

Tak lama setelah melihat Lunar masuk melewati gerbang, Dimas melajukan mobilnya kembali menuju tempat kerjanya.

Jam istirahat siang waktu yang ditunggu-tunggu untuk mengisi daya tahan tubuh supaya tetap berenergi dan bisa melalui hari-hari yang cukup berat bagi beberapa siswa. Lunar sudah berada di kantin bersama Chika dan Iqbal.

LUNAR [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang