Empat

27 4 0
                                    

Satu bulan berlalu, Lunar sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah semakin membaik, namun sementara ini belum bisa beraktifitas seperti manusia sehat pada umumnya.

Hanna sudah pergi ke Bangkok untuk urusan bisnis, sementara Ardi masih sesekali menjenguk Lunar di rumah Mita meskipun Lunar sendiri menolak untuk dijenguk oleh ayahnya.

“Pulang ke rumah papa, ya?” Ardi berusaha membujuk Lunar untuk ikut dengannya. Lunar tidak merespon, dia masih setia memainkan ponsel pintarnya sambil bersandar pada bahu tempat tidurnya.

Ardi mencoba membelai tangan Lunar namun segera ditepis oleh sang empuya. “Papa boleh pergi dari sini, Lunar gak butuh papa,” ketusnya tanpa menatap sang ayah yang masih setia memandang wajah putri kesayangannya. “Papa udah biasa ninggalin aku, kan? Jadi sekarang, tolong keluar dari kamar aku.”

Ardi menghela napas berat, masih berusaha tenang menghadapi anak semata wayangnya yang memang memiliki sifat yang keras seperti ibunya. Kekerasan tidak bisa dihadapi dengan kekerasan juga, begitu pun saat menghadapi Lunar, Ardi harus sangat bersabar dan berusaha lembut supaya tidak selalu ada kesalahpaman diantara keduanya.

“Papa tidak tahu apa yang ibu kamu katakan tentang papa, tapi, perlu kamu tahu jika papa akan selalu menyayangi kamu sebagai anak papa. Kamu boleh membenci papa, tapi jangan lupakan fakta jika kamu tetap anak papa satu-satunya.” Dengan berat hati Ardi berdiri dari duduknya, setelah kalimat panjang yang ia ucapkan Ardi berniat untuk pergi dari sana sesuai keinginan anaknya.

Ardi sempat menatap anaknya sebentar sebelum dirinya benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari kamar Lunar. “Aku gak benci papa, aku cuma butuh waktu buat gak benci sama keadaan.” Lunar mengatakan itu setelah ayahnya pergi, tapi mungkin masih bisa didengar oleh Ardi yang baru saja menutup pintu kamar.

***

Untuk pertama kalinya, Lunar kembali ke sekolah dengan kondisi yang sudah lebih baik dari sebelumnya. Meskipun keluarganya masih melarang Lunar untuk beraktifitas di luar ruangan, tapi dokter sudah mengijinkan asalkan tidak dengan aktifitas yang berat.

“Lunar, kamu tau, gak? Chika kangen banget sama Lunar,” ujar Chika dengan nada ala-ala orang menangis. Sesekali dia seperti mengusap air mata yang jatuh melewati pipinya padahal tidak ada sama sekali.

Ekspresi wajahnya dibuat seolah nampak sangat sedih, dengan satu tangannya memegang buku anatomi makhluk hidup di atas meja.

“Gak usah lebay, deh. Gue Cuma sakit biasa bukan mati.” Lunar menimpali dengan  datar. Satu tangannya ia gunakan untuk menopang dagu, tangan satunya lagi memegang pena. Lunar sedang menulis ulang catatan pelajaran yang sempat tertinggal dari buku Iqbal yang ia pinjam.

“Hus, sembarangan aja kalo ngomong.”

“Kepala gue ini belom sembuh total, jadi, lo gak usah nambah-nambahin beban sakitnya dengan ocehan lo yang udah kaya burung beo pak Udin.”

Seketika Chika langsung terdiam, sedikit cemberut setelah mendengar perkataan Lunar barusan. “Tapi, ya, perpus jadi sepi tau kalo gak ada kamu, Lun.”

“Ada atau gak ada gue juga sepi terus kali.”

“Nggak gitu, kalo ada Lunar, Chika jadi ada temennya, hehe.” Chika kembali tersenyum.

“Lah, kan ada Iqbal?”

Chika menutup buku yang sedang ia baca, kemudian mempokuskan dirinya untuk bercerita dengan Lunar. “Semenjak gak ada Lunar, Iqbal gak pernah ke perpus lagi, udah gitu, sekarang dia mainnya sama cewek lain. Kalo Chika ajak ke perpus, pasti alesannya dia udah ada janji ke kantin sama temen. Males banget, deh.”

LUNAR [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang