Sebelas

22 3 2
                                    

Melihat situasi pengunjung sore ini sepertinya cukup ramai orang yang datang ke kafe tempat Reno bekerja. Live musik biasanya akan dimulai pada pukul tujuh, beberapa orang sudah mulai mempersiapkan peralatan yang akan digunakan.

"Dimas, lo kerja hari ini?" kata Satya saat melihat Dimas yang baru saja masuk ke ruangan tempat anak band istirahat. "Eh, Dim, bukannya lo sakit? Serius udah bisa ikut kita ngeband?" Ferry menimpali sembari menepuk pundak Dimas.

"Saya gak apa-apa, kok, saya kangen ngeband sama kalian."

"Cielah, baru tiga hari doang lo gak masuk udah bilang kangen aja." Satya juga ikut menepuk bahu Dimas pelan.

"Eh, gimana kabarnya, udah ketemu?" Ferry sedikit berbisik dengan Dimas. Hanya Ferry yang tahu jika Lunar pergi dari rumah dan belum kembali.

Dimas menggelengkan kepalanya. "Polisi sempat temukan jenazah yang mirip di sungai, tapi ternyata bukan dia. Pak Ardi sudah memastikan dengan tes DNA."

"Gue turut berduka, ya? Maksudnya, karena belum ditemuin. Gue yakin dia baik-baik aja, kok, gak mungkin, lah, sampai harus ditemuin tanpa nyawa." Kembali Ferry menepuk pundak Dimas untuk memberikan dukungan. "Gue juga sempat nanya ke beberapa temen gue, barangkali ada yang liat bisa langsung hubungin gue. Fotonya juga udah coba gue share ke anak-anak yang lain."

"Terima kasih, Fer."

Satya yang mendengarkan sedari tadi hanya bisa diam tidak menanggapi, dirinya tidak tahu apa yang sedang dibahas Dimas dengan Ferry. "Eh, ini bahas apa, sih? Siapa yang hilang?"

"Kepo aja, lo," jawab Ferry. "Oh, iya, gitar lo ada di studionya Reno. Tadi, kan, kita abis latihan di sana. Terus, gue tinggal karena gue pikir lo gak dateng hari ini." Ferry mengalihkan pembicaraan agar Satya tidak banyak bertanya. Ferry yang paling mengenal Dimas di antara yang lain, keduanya sudah berteman sejak masuk bangku perkuliahan.

"Gue ambil dulu, ya." 

"Gak usah, Fer, biar saya aja." Dimas segera pergi untuk membawa gitarnya di studio latihan milik Reno. Setiap anggota band memiliki kunci akses untuk masuk ke studionya, jadi siapapun bisa masuk asal membawa kunci masing-masing.

"Nah, ini orangnya. Tadi Dimas dateng, dia udah bisa ikut ngeband lagi." Satya langsung memberitahukan kepada Reno saat lelaki itu baru saja kembali ke ruangan.

"Dimas ke sini? terus, sekarang di mana?" tanya Reno sedikit terkejut saat mendengar Dimas datang.

"Lagi ngambil gitar di studio," jawab Ferry dengan santai.

Seketika Reno merasa panik, Dimas tidak boleh pergi ke studio dan bertemu Lunar di sana. "Kenapa gak bilang gue dulu, kunci studio, kan, gue yang pegang."

"Pura-pura lupa, kita punya kunci sendiri kali. Kan, lo yang kasih dulu."

Reno menghela napas gusar, dia tidak ingat jika sudah memberikan akses studionya ke semua anggota bandnya. "Gue mau susul Dimas dulu, sekalian mau ngambil barang gue yang ketinggalan."

"Telpon aja Dimas, nanti dia ambilin."

"Sat, pinjem HP lo, punya gue mati." Satya memberikan ponselnya kepada Reno, kemudian Reno mencoba menghubungi Lunar melalui ponselnya yang ia berikan sebelum Lunar pergi.

"Si Reno kenapa, sih, kayak panik gitu?" tanya Ferry kepada Satya yang juga melihat gerak-gerik Reno sedikit mencurigakan.

"Dia nyembunyiin cewek kali di studio." Satya terkekeh sendiri dengan jawabannya. "Ngarang aja, lo." Ferry keluar dari ruangan untuk mengecek kesiapan alat bandnya lagi.

Beberapa kali Reno mencoba menghubungi Lunar melalui panggilan telpon, tidak ada respon sama sekali. Dirinya ingat sekali tidak mematikan dering ponselnya. Reno masih berusaha untuk panggilan kelimanya. Tepat setelah dering ketiga, akhirnya Lunar mengangkat sambungan telponnya.

LUNAR [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang