Dua

43 6 0
                                    

“Lun, lo beneran gak mau pulang ke rumah tante Hanna?” Untuk ke sekian kalinya Mita bertanya soal kapan Lunar akan pulang ke rumahnya. Sudah tiga bulan ini Lunar pergi dari rumah dan tinggal di rumah Mita.

Lunar bukan sedang kabur dari rumah, dia hanya sedang tidak ingin tinggal bersama orang-orang yang membuatnya mengingat masa lalu yang kelam.

Lunar masih sibuk dengan ponsel pintarnya, padahal tidak ada halaman atau aplikasi yang benar-benar sedang ia mainkan. Dia hanya melihat-lihat situs belanja online, kemudian membuka chat lalu melihat gambar di galeri. Sampai berulang beberapa kali.

“Gue tau lo pasti marah sama keputusan orangtua lo, tapi gak gini caranya, Lun. Lo harus bilang ke mereka kalo emang lo gak suka sama situasi ini. Jangan bersikap seolah gak terjadi apa-apa, tapi lo bahkan gak mau ngomong atau ketemu sama mereka.”

Mita menghela nafas berat, tidak mudah untuk membujuk Lunar agar bisa kembali ke rumahnya atau sekedar bertemu dengan orantuanya. Setelah memutuskan tinggal di rumah Mita, ia bahkan tidak pernah menghubungi orangtuanya kecuali Dimas.

Setelah bosan dengan kegiatan bersama ponsel pintarnya, akhirnya Lunar memutuskan untuk membuka mulut. “Lo gak tau permasalahan keluarga gue, jadi gak usah ikut campur.” Lunar tampak kesal karena selalu ditanya kapan pulang. Mita bahkan sedikit frustasi akan hal itu. “Plis, jangan ganggu waktu libur sekolah gue dengan pertanyaan bodoh lo itu. Sampai kapan pun gue gak akan balik ke rumah itu lagi.”

Mulutnya memang selalu kejam seperti biasa, Mita bahkan tidak pernah tersinggung dengan perkataan Lunar. Dia sudah tau sifatnya memang seperti itu. Mita sudah kebal. Meskipun usianya 5 tahun lebih tua dari Lunar, dia tidak masalah jika Lunar berbicara yang kurang sopan, selagi Lunar masih mau tinggal di rumahnya dan tidak kabur ke tempat lain.

Mungkin cukup untuk hari ini, Mita sadar jika kegiatan sekolah Lunar cukup sibuk belakangan ini. Dia juga tidak mau mengganggu waktu istirahat Lunar dengan membebani pikirannya. Akhirnya Mita memutuskan untuk pergi dari kamar Lunar.

Padahal ini masih pagi, tapi suasana hatinya sudah cukup kacau dengan Mita yang selalu membujuknya untuk pulang. Lunar melirik ponselnya lagi, ternyata baru jam 9.15. Lunar mengacak rambutnya frustasi, tidak ada kegiatan yang bisa dia lakukan di hari minggu ini. Tidak ada yang bisa diajak main, setelah Chika bilang minggu ini ada acara keluarga. Padahal Lunar sangat ingin pergi, setidaknya ke toko buku untuk mencari novel terbaru.

Lunar kembali membuka ponselnya lagi setelah mendapat satu pesan dari nomor tidak dikenal. Sedikit memicingkan mata kala membaca pesannya, setelahnya dia menarik satu senyuman tipis di sudut bibirnya.

***

“Siapa itu, Hanna? Ngapain dia malam-malam telepon kamu?”

“Itu guru lesnya Lunar, Mas.”

“Bohong … tidak mungkin guru les telepon malam-malam. Itu pasti selingkuhan kamu, kan?”

Praakkk….

Pria itu membanting ponsel Hanna ke lantai. Lunar yang menyaksikan kejadian itu di balik meja kerja sang ayah hanya bisa terdiam sambil menahan tangisnya. Lunar sangat takut, tangannya bergetar hebat. Sebuah tamparan mendarat di pipi Hanna dengan cukup keras hingga menimbulkan bekas kemerahan.

Lunar kembali memejamkan matanya, terduduk di lantai dengan memeluk kedua kakinya yang ditekukkan. Dia masih setia bersembunyi di bawah meja sampai ruangan itu benar-benar hening tanpa suara. Setelah itu Lunar berlari keluar, dan pergi dari rumah itu sambil menangis hebat.

Lunar merasakan seseorang menepuk pundaknya, dia kemudian terbangun dari tidur singkatnya. “Kok, tidur di sini?”

Lunar merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dia baru saja tertidur sambil duduk dengan posisi kepala menunduk.

LUNAR [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang