Dua Belas

20 2 2
                                    

"Thanks, ya, udah mau ngajak gue pergi."

Pria itu masih setia menatap sang gadis dengan intens. Pandangannya tak teralihkan sama sekali bahkan oleh suara-suara jalanan yang cukup ramai. "Lo kenapa?" satu pertanyaan keluar dari mulut Saga. 

Lunar menghela napas panjang. Menghirup udara dengan sekuat tenaga. Tatapannya kosong menatap langit malam yang gelap tanpa bintang satu pun di sana. Tubuhnya terlentang di atas rerumputan yang sedikit basah karena embun, begitupun dengan Saga yang juga ikut terlentang.

"Lo kangen, gak, sama gue?" Bukan menjawab pertanyaan Saga, Lunar justru mengalihkan pembicaraanya ke pembahasan lain. "Kita udah seminggu lebih gak ketemu, lo pasti kangen banget sama gue." Terdengar seperti tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.

"Gue khawatir," balas Saga pada akhirnya. "Mungkin, gue gak punya hak untuk minta penjelasan kenapa lo selama ini menghilang tanpa kabar. Tapi, kalo gue liat gimana cara lo minta gue buat bawa lo pergi sekarang ini, bikin gue mikir kayaknya gue juga berhak dapet penjelasan minimal kenapa gue harus sampe ngeyakinin bang Dimas kalo lo gak bakal kabur lagi selagi sama gue." 

Lunar sangat mengerti apa maksud dari ucapan Saga barusan. Sebelumnya memang dia tidak mengatakan apapun kepada Saga, Lunar hanya meminta dia untuk mengajaknya pergi sebentar dari rumah. Karena hanya dengan Saga, Dimas akan percaya kalau gadis itu tidak akan kabur lagi. Dimas percaya Saga bisa menjaga Lunar dengan baik.

Gadis itu menoleh menghadap Saga, tatapan keduanya bertemu. "Gue benci, Saga."

Ucapannya terjeda, Saga masih setia menunggu penjelasan apa yang akan diceritakan Lunar kepadanya. "Gue gak suka keliatan lemah, gue gak suka orang tau masalah hidup gue, gue gak suka dikasihanin sama orang lain."

"Gak apa-apa, lo bisa cerita apa aja sama gue. Gue bisa jaga rahasia." Saga berusaha meyakinkan. Tatapannya sangat tulus kepada Lunar. "Lo bisa mulai dari mana aja." Saga mulai mengalihkan pandangannya menatap langit malam yang gelap. Memberi ruang untuk Lunar bisa bercerita.

"Omong-omong, lo tau gak arti nama gue?" tanya Lunar sebelum memulai ceritanya. "Hmm ... Bulan?" Saga menebak, mengingat kata Lunar selalu berkaitan dengan bulan.

Namun, Lunar menggelengkan kepalanya samar. Melihat itu, Saga kemudian bertanya, "kalo bukan bulan terus apa, dong? seinget gue, Lunar selalu berkaitan sama bulan."

"Iya, lo bener. Tapi, bukan itu maksudnya. Kejujuran abadi, itu arti nama gue," ucap Lunar singkat menginfokan arti namanya tanpa penjelasan lain.

Saga mengerutkan keningnya, tanda tidak paham dengan apa yang sedang ingin Lunar ceritakan kepadanya. "Coba cek HP lo, deh," pinta Lunar saat itu juga.

"Hah? buat apa?" tanya Saga yang cukup kebingungan.

Lunar bangkit dalam posisi duduk, diikuti dengan Saga yang juga mulai membuka ponselnya. "Buka google terus cari kata Lunaria Rediviva."

Saga mengikuti perintah Lunar, mencari penelusuran kata yang sudah disebutkan. "Eh, kok yang keluar bunga."

Gadis itu mengangguk. "Nenek gue pernah dikasih hadiah lukisan bunga sama salah satu partner bisnisnya. Dan dikasihlah lukisan itu ke nyokap, nenek gue tahu kalo nyokap gue suka banget sama hal-hal yang berkaitan sama seni dan tanaman. Ada beberapa jenis bunga yang ada di lukisan itu, salah satunya bunga Lunaria. Kata nyokap, makna dari bunganya bagus makanya dia pilih buat nama gue pake salah satu nama bunga yang ada di lukisan itu." Lunar menjeda ceritanya dengan satu helaan napas, kemudian kembali melanjutkan pembahasan mengenai arti dari namanya sendri.

"Lo pasti tau ungkapan nama adalah do'a, orangtua gue berharap hadirnya gue bisa membawa makna kejujuran di keluarga dan juga membawa keabadian bagi keutuhan keluarga ini." Lunar tersenyum miris setelah menyelesaikan kalimatnya. "Gila, ya, faktanya gak ada satu orang pun yang jujur di keluarga gue. Apalah itu keabadian, yang ada berantakan semuanya."

LUNAR [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang