13. Rumah Jessica

366 75 8
                                    

AKU benar-benar suka rumah Mrs. Kang.

Warnanya putih, atap dan tepiannya dicat ungu lavender, dan pintu depannya berwarna biru seperti telur burung robin. Kau harus menghormati, dan mungkin sedikit takut pada, setiap wanita yang punya keberanian untuk mengecat rumahnya dengan warna-warna tersebut. Berandanya, yang mengelilingi dua sisi rumah, tampak luas dan anggun, dipenuhi tanaman rambat serta palem, dan kipas angin gantung dipasang untuk menyediakan udara sejuk kapan pun alam tidak memberikannya. Mawar dalam berbagai semburat warna menyediakan ledakan warna. Semak gardenia hijau tua, penuh bunga-bunga putih bermekaran yang wangi, memberi aksen pada masing-masing sisi tangga lebar yang mengarah ke beranda.

Namun Seulgi tidak parkir di tempat yang membuat kami bisa berjalan melewati beranda depan; ia terus melewati jalan masuk dan parkir
di belakang rumah.

Aku diantar ke pintu belakang yang terbuka, ke dalam ruang belakang kecil lalu ke dapur, yang sudah dimodernisasi tanpa merusak gaya aslinya. Ibu Seulgi sudah menunggu kami di sana.

Jessica Kang bukan tipe wanita yang bisa digambarkan sebagai wanita keibuan. Dia tinggi dan langsing, dengan potongan rambut pendek dan bergaya.

Tapi rambutnya tidak gelap sekarang; bukannya menjadi keabu-abuan, rambutnya justru dicat pirang.

Sepagi itu, bahkan belum pukul delapan, ia sudah mengenakan makeup dan anting. Namun ibu Seulgi tidak berpakaian rapi; ia hanya mengenakan celana pendek warna kulit untuk jalan-jalan dan T-shirt warna biru laut yang tidak dimasukkan, serta sandal jepit biasa. Kuku kakinya dicat merah seperti mobil pemadam kebakaran.

Dia tipe wanita yang kusukai.

"Joohyun, Sayang, aku tak percaya saat Seulgi bilang kau tertembak," ujar Mrs. Kang sambil memelukku hati-hati. "Bagaimana perasaanmu? Apakah kau mau kopi, atau teh?"

Semudah itu, dan aku jadi ingin dimanjakan oleh seorang ibu. Karena ibuku sendiri dilarang melakukannya untuk saat ini, ibu Seulgi mengisi kekosongan tersebut.

"Teh kedengarannya enak," ujarku bersemangat, dan dia segera berbalik ke bak cuci piring untuk mengisi sebuah teko gaya kuno dengan air dan meletakkannya di atas kompor untuk dipanaskan.

Seulgi merengut. "Aku akan membuatkan teh untukmu kalau kau bilang mau. Kupikir kau suka kopi."

"Aku memang suka kopi, tapi bukan kopi murni, dan aku juga suka teh. Lagipula aku sudah minum kopi."

"Teh memberimu perasaan nyaman yang tidak diberikan kopi," jelas Mrs. Kang. "Duduk saja, Joohyun, dan jangan mencoba melakukan apa-apa. Kau pasti masih merasa agak gemetar."

"Aku sudah jauh lebih baik dibandingkan semalam," ujarku sambil mematuhinya dan duduk di meja dapur kayu. "Sebenarnya aku merasa cukup normal hari ini. Semalam rasanya ..." Aku mengayun ayunkan tanganku.

"Pasti begitu. Seulgi, kau pergi saja ke kantor. Kau harus menangkap bajingan itu dan kau tidak bisa melakukan itu dengan berdiri di dapurku. Joohyun akan baik-baik saja."

Seulgi tampak enggan pergi. "Jika ibu perlu pergi ke mana-mana, mungkin sebaiknya Joohyun tetap di rumah," ujar Seulgi pada ibunya. "Aku tak ingin dia terlihat di tempat umum sekarang ini."

"Aku tahu; kau sudah bilang padaku."

"Joohyun tak perlu melakukan hal-hal berat, setelah kehilangan begitu banyak darah kemarin."

"Aku tahu; kau sudah bilang padaku."

"Mungkin dia akan mencoba membujukmu-"

"Seulgi! Aku tahu!" ujar Mrs. Kang.

To Die ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang