10. Aku Akan Merawatnya

463 93 13
                                    

"KAU tidur dengan Letnan Seulgi, ya?" tanya Jennie, tersenyum lebar.

"Dulu pernah," jawabku, kemudian mendengus.

Memangnya kenapa jika yang kumaksud dengan "dulu" artinya tadi pagi?

"Sebaiknya dia tak mengharap kali ke-dua atau berikutnya." Aku sedikit kesal karena tak sengaja mengatakan hal yang begitu pribadi seperti detail kehidupan cintaku, tapi aku diprovokasi.

Rasanya Lim mengemudi lambat sekali. Aku tak tahu apakah dia selalu berhati-hati seperti itu ––mungkin tidak baik mengebut jika ada orang sekarat di dalam ambulansmu–– atau apakah dia hanya ingin mendengarkan sebanyak mungkin percakapan kami sebelum tiba di rumah sakit.

Selain Jennie, tak seorang pun --betul-betul tak seorang pun-- menganggap kondisiku perlu dikhawatirkan ataupun diberi perhatian ekstra. Tetapi Jennie adalah wanita yang perasaannya sehalus perasaanku.

Wanita itu memberiku Fit Bar, dan dia mengambilkan tasku. Jennie memahamiku.

"Dia sosok yang sulit ditolak," komentar Jennie hati-hati. "Tak ada maksud mengejek."

"Seorang wanita harus melakukan apa yang harus dia lakukan."

"Aku sependapat, sister." Kami saling menatap paham.

Kau tidak bisa membiarkan orang lain mengendalikanmu.

Ngomong-omong sekarang ini aku aman, itu memberiku sedikit ruang bernapas, dan itulah tepatnya yang kubutuhkan.

Aku akan berkonsentrasi pada Seulgi dan daftar ini sampai aku merasa bisa menghadapi kenyataan dengan lebih baik.

Di rumah sakit, aku dibawa dan dimasukkan ke ruangan dengan tirai-tirai pembatas.

Beberapa perawat yang ramah dan efisien memotong atasan dan braku yang bersimbah darah. Aku sangat kesal bra itu harus dikorbankan, karena bra itu bagus sekali dan serasi dengan celana dalamku, yang sekarang tak bisa kupakai lagi kecuali aku membeli bra lain yang juga serasi. Ah, ya sudahlah, Bra itu toh sudah rusak dengan noda darah, apalagi aku punya kenangan buruk dengan benda itu sampai mungkin aku takkan mau lagi memakainya.

Aku memakai gaun rumah sakit berwarna biru muda, yang sama sekali tidak gaya, dan diminta berbaring sementara mereka melakukan pemeriksaan awal.

Mereka juga melepas perban dari lenganku, dan sekarang aku sudah merasa cukup kuat untuk melihat sendiri luka di lenganku. "Ihh," ujarku sambil mengerutkan hidung.

Nah, di bagian mana pun kau tertembak, kau pasti mengalami kerusakan otot. Kecuali kau tertembak di bagian mata, tapi kalau itu yang terjadi kau tak perlu khawatir karena kau mungkin sudah mati.

Pelurunya merobek lengan atasku cukup dalam, tepat di bawah sambungan bahu. Jika tembakannya sedikit ke atas, kemungkinan besar sendiku akan terkena dampaknya, dan itu berarti lukanya akan jauh lebih serius. Tapi luka ini pun tampak serius, karena sepertinya luka yang menganga lebar itu tak mungkin ditutup hanya dengan beberapa jahitan:

"Lukanya tak terlalu parah," ujar salah satu perawat. Name tag-nya bertuliskan "Rose".

"Lukanya hanya sebatas daging; tak sampai ke tulang. Tapi rasanya sakit sekali, ya kan?"

Tanda-tanda vitalku diperiksa; denyut nadiku agak cepat, tapi denyut nadi siapa yang tidak akan meningkat setelah ditembaki? Pernapasan normal. Tekanan darah sedikit lebih tinggi daripada normal, tapi tidak terlalu tinggi. Secara garis besar, tubuhku sedang mengalami sedikit reaksi akibat tertembak. Fakta bahwa aku sehat dan sangat bugar rasanya cukup membantu.

To Die ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang