20. Praduga

622 66 37
                                    

Hai, bersua lagi kitaa.
Forgive me! Ga cepet2 nuntasin cerita inip.
Ok lanjup lah 👊 gass mumpung ada time.

Praduga

KAMI tiba di rumah Ibu dan Ayah lebih awal, walaupun sebelumnya sempat mampir membeli donat dan susu kental manis yang kubutuhkan untuk membuat puding roti. Seulgi sudah punya bahan-bahan lainnya, termasuk loyang-loyang yang kuperlukan.

Ya, loyang-loyang. Banyak. Kami membeli empat lusin donat berlapis gula. Aromanya membuat air liurku terbit, tapi aku kuat dan bahkan tidak membuka kotaknya.

Ayah membuka pintu, terhenti sementara ia
mengamati wajahku, lalu berkata, "Apa yang terjadi?" dengan sangat perlahan.

"Aku merusak mobilku," ujarku, mendekat untuk memeluk Ayah, lalu masuk ke dapur untuk menghadapi Ibu.

Di belakangku, aku mendengar Ayah dan Seulgi terus bicara dengan suara pelan dan sepertinya Seulgi sedang memberikan penjelasan singkat pada Ayahku.

Akhirnya, aku tidak berusaha menutupi memar-memar di tubuhku, Well, aku memang memakai celana panjang katun bergaris-garis hitam dan putih, dan kaus putih yang ujung bawahnya diselipkan sebelah, karena jika aku memakai celana pendek yang memperlihatkan memar-memar di kakiku, orang pasti akan mengira Seulgi memukuliku dan aku sedang tak ingin membela anak itu.

Tapi aku tidak jadi memakai concealer unruk menutupi memar di bawah mataku, karena kupikir makeup apa pun akan langsung berantakan saat Ibu melakukan segala hal yang pasti dia lakukan pada wajahku.

Ibu sedang berdiri di hadapan pintu kulkas yang terbuka, menatap ke dalamnya. "Tadinya aku mau buat daging panggang," ujarnya tanpa menoleh saat mendengarku masuk.

Aku tak yakin ia tahu ini aku dan bukan Ayah, tapi itu tak masalah. "Tapi aku lama sekali berkutat dengan komputer sialan itu sampai tak punya waktu sekarang. Menurutmu bagaimana kalau dibakar ..."

la mendongak dan melihatku, dan matanya pun membulat. "Bae Joohyun," ujar Ibu dengan nada menuduh, seolah diriku sendiri yang menyebabkan memar-memar ini

"Kecelakaan mobil," ujarku, lalu duduk di atas salah satu kursi tinggi di meja kecil. "Mobil kecilku yang malang hancur. Ada orang yang memotong tali remku dan aku menerobos lampu merah menuju jalanan di persimpangan dekat rumahku."

"Ini harus dihentikan," ujar Ibu, suaranya menegang dan marah sementara ia menutup pintu freezer dan membuka kulkas bagian bawah. "Kupikir polisi sudah menangkap pria yang membunuh Nicole."

"Memang. Bukan dia pelakunya. Pria itu juga tidak menembakku; setelah menembak Nicole, dia tidak meninggalkan rumah selain untuk ke kantor Istrinya mendukung alibi pria itu, dan karena sang istri sudah tahu pria itu berselingkuh, dia menuntut cerai, jadi tak mungkin istrinya berbohong untuk membela pria itu."

Ibu menutup pintu kulkas tanpa bicara sepatah kata pun, lalu membuka pintu freezer lagi. Ibu amat sangat efsien, jadi keragu-raguannya, bolak-balik membuka dan menutup freezer, membuatku tahu betapa kesalnya ia.

Kali ini Ibu mengambil sekantong kacang polong beku dan membungkusnya dengan lap dapur bersih. "Tempelkan ini di memarmu," ujarnya sambil mengulurkan kacang polong itu padaku. "Ada cedera apa lagi?"

"Memar-memar saja. Dan semua ototku nyeri. Mobil lain menabrak mobilku dari samping di bagian kursi penumpang, jadi mobilku terlempar, Air bag-nya menghantam wajahku dan membuat hidungku berdarah."

To Die ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang