"Via, gue serahin kontrol tubuh lo ke lo ya. Makasih udah minjemin tubuh lo seharian ke gue. Lo gapapa kan?" tanya Alfia sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Seperti biasanya rumah ini sepi. Ayahnya sedang bekerja sekarang. Bundanya sudah pergi selamanya. Tidak ada Bundanya yang menyambutnya lagi saat pulang. Tidak ada Bundanya yang mengomelinya karena Alfia pulang telat. Alfia rindu dimarahi oleh Mamanya. Ternyata memang benar, ketika merasa kehilangan, kita jadi merindukan segalanya.
"Gapapa kok. Apapun buat lo, yang penting lo bisa bahagia sama sahabat-sahabat lo," jawab Alvia.
Kemudian Alfia memejamkan matanya dan membiarkan jiwa Alvia menguasai raga ini. Sebenarnya saat keduanya bertukaran jiwa itu sangat instan. Karena raga ini milik Alvia, jadi secara otomatis Alvia lah yang sebagai pengontrol tubuh. Alvia lah yang pasti biasanya yang akan mengontrol penempatan jiwa ini dengan pikirannya.
"Sahabat-sahabat gue, temen lo juga, Via."
"Mereka nggak nganggap gue temen, Al."
"Lo salah sangka, Via."
"Buktinya gue nggak pernah ngobrol sama mereka. Palingan mereka ngomong sama gue cuman buat nyuruh gue nyerahin kontrol tubuh gue ke lo doang. Mereka cuman pengen lo doang, Al. Dan gue nggak punya temen jadinya gara-gara itu." Alvia tersenyum kecut, namun beberapa detik kemudian Alvia tersadar omongannya yang pastinya akan menyinggung Alfia, jadi Alvia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Ah itu, bukan maksudnya gue nggak ada temen. Tapi—"
"Maaf." Tiba-tiba Alfia mengatakan hal itu.
"Maaf?
Mendengar pengakuan Alvia itu membuat Alfia merasa sedih. Seolah merasakan bagaimana perasaan kesepian dari kembarannya itu.
"Apa gue egois?" tanya Alfia tiba-tiba.
"Hah?"
Alvia benar-benar kebingungan dengan pertanyaan itu sehingga tanpa sadar menghentikan langkahnya.
Alfia terdiam sesaat lalu mengulang perkataannya, "Jawab jujur. Apa gue egois? Ini raga milik lo. Tapi secara waktu penggunaan raga yang paling banyak dipake itu gue."
"Lo nggak egois. Cuman guenya aja yang terlalu iri sama kalian. Kalian bisa bercanda bareng. Gue juga pengen kayak kalian, tapi gue nggak punya teman kenalan. Nama gue emang Alvia Marshelina dan semua teman sekelas emang kenal nama gue itu. Tapi aslinya mereka nggak kenal gue sebenernya. Yang mereka kenalin itu lo, Al."
Dan mendengar keluh kesah kembarannya itu semakin membuat hati Alfia nyeri, apalagi ditambah perasaan Alvia yang menyatu membuatnya semakin nyeri. Alfia bisa merasakan bagaimana perasaan Alvia selama ini. Alfia merasa dirinya menjadi orang yang tidak tahu diri. Lupa jika ada sosok lain yang menginginkan kesenangannya bersama teman-temannya. Ada sosok lain yang bercanda bersama teman-temannya seperti Alfia dengan kelima sahabatnya. Dan parahnya lagi sosok itu adalah pemilik raga asli ini.
Alfia baru sadar pasti Alvia selama ini mendengarkan apa yang selama ini Alfia dan sahabatnya saat berbicara, tertawa, dan ribut bersama. Karena diamnya Alvia saat Alfia bersama para sahabatnya jadi tak menyadari hal itu. Mungkin Alvia merasa iri saat melihat Alfia yang terdengar akrabnya bersama para sahabatnya, sementara Alvia sendiri tidak bisa merasakannya.
Di dalam kegelapan sana, jiwa Alfia merasa sedih. "Maaf, Via," ujarnya melemah.
"Lo nggak perlu minta maaf. Lo nggak salah," sahut Alvia.
"Tapi gara-gara gue lo nggak bisa ngerasain nikmatnya hidup lagi. Lo jadi nggak punya teman dekat. Salah gue, Via! Salah gue!" Biasanya jika Alfia merasa bersalah, dia akan frustasi dan menjambak rambutnya sendiri untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Namun karena Alfia sudah tidak memiliki raganya sendiri, jadi sebagai petunjuk Alfia merasa bersalah yaitu berulang kali menyalahkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Sahabat Sejati 3
Teen FictionDi suatu hari saat setelah kelulusan SMA bagi mereka, tiba-tiba ada sebuah insiden yang membuat semuanya harus melupakan persahabatan mereka ketika baru saja mereka duduk di bangku kuliah. Insiden yang bagai bom yang tiba-tiba menghancurkan persahab...