Simbiosis Mutualisme

956 58 0
                                    

Yuk follow penulisnya, jangan lupa masukin cerita Tamara dan Pras ke library kalian dan vote!

Enjoy!

:)

_______________________________________________________________________________

Tamara terkekeh. "Kamu lucu, bukannya kamu yang masih mencintai orang lain?" Tamara memukul telak Pras. "Lagipula kalau aku suka Gangga, sudah dari dulu aku bilang sama dia. Dan kalau dia juga suka, kami bisa pacaran atau malah mungkin nikah muda?" Tamara geli membayangkan dirinya dan Gangga berpacaran.

"Menurutmu itu lucu?" Pras beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Tamara.

Pria itu kemudian duduk tepat di sebelah Tamara. "Aku tahu aku masih mencintai Karin, tapi bukankah kamu udah setuju untuk membantuku belajar melupakan dia?" tanya Pras kepada Tamara.

"Tentu aja aku masih ingat kalau aku setuju dengan itu," kata Tamara mengangguk.

"Bagus! Jadi mari saling bekerja sama Tamara! Jangan bertindak lebih kepada Gangga! Aku pun juga akan berusaha untuk melupakan Karin, adil 'kan?" Pras menaikkan satu alisnya.

Tamara mengangguk. "Oke," jawabnya dengan menatap mata Pras.

Tidak ada jalan mundur untuk Tamara. Apalagi, dia juga sudah setuju dengan semua ajakan Pras termasuk membantu pria itu melupakan mantan kekasihnya yang Tamara tahu akan menikah dua minggu lagi.

"Lo mirip banget seperti tempat pelarian buat Pras, Ras!" batin Tamara memberontak.

"Anggap aja hubungan kita adalah sebuah simbiosis mutualisme, kita akan saling menguntungkan, bukankah itu ide yang sangat menarik?" Pras terkekeh.

"Hm, kamu benar." Tamara mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Kamu memang wanita yang penurut." Pras mengelus kepala Tamara dengan lembut.

Tamara menelan salivanya dengan sedikit kesulitan. "Aku nggak bisa mundur lagi, kan?" Tamara tersenyum kecut.

Pras terdiam dan menatap mata Tamara. "Ayo, aku antar pulang!" ucap Pras yang segera diangguki oleh Tamara.

Pras berjalan menuruni tangga diikuti Tamara. Mereka berpamitan kepada orang tua Pras dan juga Dinda.

"Kak Tamara nginap di sini aja gimana?" Dinda mulai merajuk ketika Pras hendak mengantarkan Tamara pulang ke kosan.

"Besok kakak kerja, Dek! Lain kali kakak nginap di sini kalau boleh, hm?" Tamara berusaha membujuk Dinda.

"Ya udah, deh! Padahal Dinda ada cerita dan pengennya cerita ke Kakak." Dinda cemberut.

"Kamu nggak pernah mau cerita ke Kakak tapi sama Tamara malah mau, kamu adiknya siapa sih, Dek?" Pras berdecak heran yang memancing kekehan dari Tamara dan kedua orang tua Pras.

Akhirnya, Pras mengantarkan Tamara sampai ke kosan gadis itu pukul setengah sepuluh malam. Pras segera berpamitan untuk pulang. Sementara Tamara langsung masuk ke dalam kamar kosnya dan segera membersihkan diri.

Tamara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu meraba wajahnya dan juga rambutnya.

"Gue nggak cantik-cantik amat tapi kok bisa dapat orang kayak Pak Pras?" gumam Tamara heran.

Kemudian gadis itu menggeleng keras. "Dia manfaatin lo buat pelarian atas Karin jadi jangan besar kepala dan terlalu percaya diri, Ras!" Tamara mengingatkan dirinya sendiri.

Dia kemudian meraba dadanya. "Jantung gue, please! Jangan berdebar terus kalau lagi dekat sama Pak Pras," kata Tamara.

***

"Susah banget mau ketemu sama lo!" Gangga menggerutu.

Tamara memandang ke arah sekitar lobby kantornya untuk memastikan bahwa Pras tidak melihatnya sedang bersama dengan Gangga di sana. Aman. Tamara menghembuskan napas lega.

Gangga menemuinya pukul 11 siang dan untungnya Pras sedang ada agenda meeting dan Tamara tidak ikut karena harus menyusun ulang jadwal Pras sesegera mungkin.

"Gue sibuk, Ga," jawab Tamara pada akhirnya.

"Lo lagi sibuk apa? Baru kali ini lo jadi susah banget gue temuin. Lo selalu kasih alasan ke gue yang lama-lama bikin gue kesal!" Gangga mendengus. "Kalau gue nggak nekat ke sini tadi, paling tahun depan gue baru bisa ketemu lo." Gangga menggelengkan kepalanya.

"Sebenarnya gue mau nikah, Ga," Tamara akhirnya memberitahu Gangga.

Bagaimanapun Gangga juga orang penting untuknya. Pria itu adalah sahabatnya. Satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya ketika dia tidak memiliki teman di sekolahnya dulu.

Gangga menatap Tamara tanpa berkedip. Setelah beberapa detik mereka hanya saling diam dan saling menatap, Gangga kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Lo mau nikah sama siapa? Lucu banget bercandanya, Ras." Gangga masih tertawa.

"Gue serius!" Tamara menatap Gangga dengan mata yang menyorotkan bahwa dia tidak sedang bercanda.

Gangga kemudian terdiam dan mengamati Tamara. "Lo mau nikah sama siapa memangnya?" Gangga masih nampak tenang.

"Bilang ke gue kalau lo bohong, Ras!" batin Gangga.

"Lo ingat sama bos gue yang waktu kita makan nasi goreng kambing ngasih gue paper bag?" Tamara mencoba mengingatkan Gangga.

Gangga mengangguk.

"Sama dia, gue mau nikah sama dia sebulan lagi." Tamara menatap Gangga dengan sorot bersalah karena telah merahasiakan berita ini dari pria itu.

Bibir Gangga bungkam. Lidahnya kelu. Jantungnya serasa turun ke bawah sampai kakinya. Pria itu memberikan sorot terluka dan kecewa kepada Tamara.

"Maaf, gue baru ngasih tahu lo sekarang," Tamara mengatakan kalimat tersebut dengan sorot mata menyesal. "Gue tahu kalau lo pasti kecewa banget sama gue," kata Tamara. "Sekali lagi gue minta maaf karena baru bisa ngasih tahu lo tentang kabar ini," lanjut Tamara.

Tamara sudah berjanji kepada Pras bahwa dia akan membatasi diri dari Gangga. Tamara tidak ingin Pras marah kepadanya. Tamara tahu meski awalnya pernikahan mereka karena saling membutuhkan demi kepentingan masing-masing, Tamara tetap tidak mau mempermainkan pernikahan.

"Kenapa lo baru cerita ke gue?" Gangga mengalihkan tatapannya ke arah lain.

Hatinya terasa nyeri. Satu bulan bukan waktu yang lama. Gangga bahkan tidak tahu kenapa hatinya bisa merasakan hampa hanya dengan mendengar kabar bahwa Tamara akan menikah dengan bosnya satu bulan lagi.

"Maaf, gue cuma pengen kabar pernikahan ini jadi rahasia dulu." Tamara memilin jari-jarinya.

"Apa lo cinta sama dia?" Gangga bertanya sambil kembali fokus menatap Tamara.

Tamara tercenung. Gangga tidak menerima jawaban apapun dari Tamara.

"Lo nggak bisa jawab pertanyaan semudah itu?" Gangga bertanya lagi. "Lo nggak cinta dan lo mau nikah sama dia? Lo gila?!" Gangga sedikit keras berbicara sampai beberapa orang di sana melihat ke arah mereka.

Tamara tersenyum dan mengatakan kata maaf kepada orang-orang yang mungkin merasa terganggu.

"Jangan keras-keras ngomongnya! Nggak enak sama yang lain," Tamara berkata dengan nada lirih.

"Gue bingung, Ras, lo ngilang dan susah buat di ajak ketemu terus tahu-tahu lo bilang kalau lo mau nikah sama bos lo." Gangga mendengus. "Lo hamil?" Gangga tahu dirinya sudah lancang karena bertanya hal yang sensitif.

Tamara menggeleng. "Enggak! Gue nggak pernah tidur sama dia, Ga." Tamara kecewa karena Gangga bertanya hal yang menurutnya kurang etis.

"Lalu?" Gangga menaikkan kedua alisnya tinggi.

"Gue..." Tamara menelan salivanya dengan sedikit paksaan. "Gue..." Tamara memejamkan matanya sejenak sambil menggigit bibirnya.

"Lebih baik lo pikirin lagi keputusan lo buat nikah sama dia sebelum semuanya terlambat," kata Gangga.

"Lo nggak perlu marah sama gue, kan?" Tamara mengerutkan dahinya.

"Sebaiknya gue pergi." Gangga kemudian berlalu meninggalkan Tamara dengan wajahnya yang sudah terlihat menahan tangis.

TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang