Rahang Pras benar-benar tertarik kuat. Matanya menyala-nyala dan seakan sanggup menguliti kulit wajah Tamara. Pria itu menahan amarahnya sebisanya meskipun Tamara tahu Pras pasti merasa ingin memukul apapun sekarang ini.
"Mas?" Wanita hamil yang semakin terlihat menawan di mata Pras itu kembali bersuara karena suaminya tidak menjawab permintaannya.
"Siapa yang mengajarimu untuk bertindak bodoh begini?" tanya Pras dengan nada yang masih terdengar tenang.
Tamara menaikkan kedua alisnya. "Itu semua murni dari aku sendiri, keputusan yang udah aku timbang dengan matang dan aku rasa kamu juga pasti akan setuju mengingat hubungan kita nggak pernah benar-benar baik selama ini," jawab wanita itu dengan wajah serius.
Pras mengusap wajahnya gusar. Sementara itu, istrinya sudah beranjak berdiri dari duduknya.
"Aku ambilkan sarapan untukmu sebentar, ya?" pamit Tamara.
"Tamara, duduk!" Pras memberikan perintah yang membuat Tamara harus menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan perlahan.
Hari sudah mulai beranjak siang dan Pras masih saja menahan Tamara supaya istrinya itu tidak pergi kemanapun. Tamara diam dan kembali duduk dengan wajah yang sudah sedikit kesal.
"Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Kamu nggak senang aku ada di rumah?" tanya Pras.
"Kamu di rumah karena sakit," kata Tamara. "Aku ada janji dengan temanku jam sembilan pagi jadi sebaiknya kita segera sarapan dan kamu bisa segera meminum obat kemudian tidur," lanjutnya dengan nada yang terlewat tenang.
Pras mengerutkan keningnya dalam. Matanya memicing mendengar penuturan istrinya itu. Mereka berdua bahkan belum selesai berbicara dengan benar dan wanita itu ingin menyudahi percakapan penting mereka? Pras bahkan belum setuju dengan keputusan bodoh yang Tamara ambil.
"Terserah kamu! Aku ingin kamu paham bahwa aku menolak permintaan kamu itu!"
Tamara menatap Pras dengan malas. "Kenapa? Kamu bisa dengan leluasa pergi bersama wanita ular itu! Jadi, sebaiknya kita berhenti dulu, ya? Aku capek, Mas!" kata Tamara dengan mata mengiba.
"Apa bersamaku membuatmu tersiksa?" tanya Pras.
Tamara membisu. Mata mereka saling beradu. Pendingin ruangan kalah dingin dibandingkan dengan sikap suami dan istri itu. Tamara menggigit bibirnya. Dia benar-benar ingin meluapkan semua amarah yang selama ini dia tahan. Tapi sekali lagi, dia ingat seperti apa posisinya bagi Pras. Dirinya tidak lebih dari wanita pencetak bayi demi warisan dari keluarga Pras yang memang sangat kaya itu.
Tamara tidak menampik bahwa dirinya juga tidak memiliki pilihan lain selain menerima pernikahan itu. Uang yang mampu membuat hidup keluarganya jauh lebih baik adalah jawaban paling menyakitkan yang selama ini Tamara rasakan. Harga dirinya tidak lebih dari banyaknya uang yang Pras gelontorkan untuk keluarganya.
Tamara memaksakan senyumnya. "Coba kamu pikir sendiri, ya? Aku udah nggak ada waktu banyak untuk meneruskan obrolan melelahkan ini. Sebentar lagi aku harus segera bersiap-siap untuk pergi," kata Tamara. "Aku tidak akan lama, sebelum makan siang aku akan pulang," lanjutnya.
Pras mengepalkan tangan kanannya. "Siapa teman yang membuatmu menjadi seorang istri yang nggak peduli pada suami seperti ini?" tanya Pras.
"Aku nggak peduli?" Tamara menggelengkan kepalanya karena tidak percaya pada ucapan Pras.
Dia benar-benar tidak habis pikir suaminya sangatlah menyebalkan. Dia selama ini sudah banyak memaklumi sikap Pras yang menyakitinya, dia juga sudah banyak mengalah setiap mereka bertengkar dan sekarang hanya karena dia hendak pergi sebentar dan akan kembali sebelum makan siang, Pras mengatakan seolah-olah dia adalah istri yang tidak pernah peduli pada suaminya?
"Katakan! Siapa temanmu itu? Aku ingin memberitahu dia bahwa suamimu sedang demam dan membutuhkan istrinya di rumah!" Pras memegang lengan Tamara dengan kuat sampai membuat Tamara mendesis.
"Kamu sakit tapi masih bisa marah padaku! Berarti kamu masih baik-baik aja kalau aku tinggal sebentar keluar rumah. Jangan manja, Mas! Aku bahkan yang sedang hamil nggak pernah manja sama kamu!" Tamara menarik lengannya.
"Siapa dia, Tamara?!"
Tamara terperanjat kaget. Pras membentaknya. Tamara tidak paham kenapa Pras sampai berani membentak dirinya. Wanita itu melotot tidak terima.
"Dia Gangga!" jawabnya mantap.
Wajah Pras berubah memerah. Matanya menggelap. Dadanya naik turun karena napasnya yang terasa semakin berat. Darah Pras mendidih mendengar jawaban istrinya yang terdengar memuakkan baginya.
"Gangga?" suara Pras terdengar pelan.
Tamara menarik napas dalam. Dia mengangguk sebagai jawaban untuk Pras. Tamara berdiri dari duduknya dan tidak menatap jendela di depannya.
"Aku ada urusan dengan Gangga. Tapi tenang aja! Karena aku nggak sama kayak kamu yang jelas-jelas memilih lari ke pelukan perempuan lain di saat istrimu lagi hamil."
Suara Tamara terdengar tenang namun sedikit bergetar. Pras bahkan bisa melihat bagaiaman wanita itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pras mengusap wajahnya dengan kasar. Dia seakan sudah lupa dengan demam di tubuhnya. Tamara akan pergi bersama dengan Gangga dan itu berhasil membuat Pras merasa.... Entahlah.... Cemburu?
"Aku mohon jangan pergi!" Pras menggenggam tangan Tamara dengan wajah memelas.
Tamara enggan untuk menoleh ke arah suaminya. Dia menggigit bibirnya kuat supaya tangisnya tidak pecah kali ini.
"Katakan padaku, apa yang membuatku harus membatalkan janjiku pada Gangga?" tanya Tamara.
Pras mendongak dan menatap wajah Tamara dari samping. Wanita itu tetap terlihat cantik meskipun sedang marah. Ah! Pras pasti sudah gila! Bagaimana mungkin orang marah bisa terlihat tetap cantik dan menggemaskan seperti ini?
"Aku..." Pras kemudian berdehem.
Ada rasa gugup yang kini membuat jantungnya bekerja dengan tidak normal. "Aku..." Pras menghela napas panjang.
"Sudahlah! Aku mengerti! Kamu nggak perlu cemas, bayi ini akan baik-baik saja. Aku akan menjaganya supaya dia nggak kelelahan. Aku ibunya jadi aku tahu apa yang terbaik untuk anakku," sahut Tamara.
Tamara kemudian menarik tangannya dan berjalan menuju ke arah pintu. Sampai sebuah suara berhasil membuat kakinya membeku di tempat.
"Aku rasa aku sudah jatuh padamu!"
Pras menatap punggung istrinya yang hampir mencapai pintu kamar. Wanita itu diam dengan tangan yang masih terkepal kuat. Pras tidak tahu bahwa kini Tamara tengah memejamkan matanya dengan air mata yang sudah mengalir begitu saja membasahi pipinya yang putih.
"Tamara?" panggil Pras dengan nada lembut. "Jangan pergi!" katanya. "Aku mohon!" Pria itu memilih memelas pada istrinya.
Tamara memutar tubuhnya dan bibir Pras seolah terkunci kala melihat air yang sudah jatuh di kedua pipi wanita di depannya itu. Tamara menelan ludah supaya tenggorokannya tidak lagi tercekat.
"Setelah kamu ketahuan bermain api dengan wanita lain?" tanyanya dengan wajah tidak percaya.
"Enggak!" Pras buru-buru berdiri dan menghampiri istrinya.
Namun ketika Pras hendak menjangkau tangan Tamara, wanita itu memilih memundurkan tubuhnya.
"Jangan terlalu dekat!" ucap Tamara dengan suara serak.
Telapak kaki Pras terasa dingin karena bersentuhan langsung dengan lantai kamar. Tubuhnya yang demam membuat matanya terasa panas dan kali ini menjadi dua kali lipat lebih panas dari sebelumnya hingga Tamara bisa melihat ada genangan air di pelupuk mata suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terberai
RomanceSeorang wanita yang bernama Tamara menghadapi peliknya hidup karena memiliki suami yang sangat sering membuatnya menangis. Suatu ketika Tamara menyaksikan sendiri bagaimana sang suami sedang bermain api dengan gadis yang sangat dia kenali. Tamara me...