.
.
.
.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"Hua Cheng melempar sekumpulan kertas yang ditemukannya di dalam lemari, kertas-kertas itu disembunyikan dengan baik.
Suara Hau Cheng terdengar semakin tidak sabar, "Kenapa tidak menjawabku? Xie Lian apakah selama ini kau pernah menganggapku sekali saja sebagai pasanganmu? Kita sudah menikah!" Kekecewaannya semakin dalam, pertanyaan ini selalu menganggunya, mungkin dimata pasangannya Hua Cheng, hanya pasangan yang diatur, tidak perlu menganggapnya serius. Bahkan untuk hal yang begitu penting masih akan disembunyikan darinya.
Surat itu sudah berlalu selama 4 bulan.
Xie Lian untuk sedetik memiliki guratan penyesalan diwajahnya, dia terkejut tetapi juga sudah menduga bahwa suatu hari Hua Cheng pasti akan menemukannya. Surat itu memang dia sembunyikan 4 bulan lalu, ketika Hua Cheng melakukan perjalanan bisnis keluar negeri selama dua minggu.
Xie Lian meremas tangannya, dengan tenang berkata, "Dia sudah tidak ada lagi," mengangkat kepalanya untuk melihat reaksi pria itu.
Hua Cheng yang masih dilanda kekecewaan meranggukan pendengarannya, "Apa katamu?"
Kenyataannya, dia hanya tidak ingin mendengar apa yang tidak ingin dia dengar.
Xie Lian mengeraskan suaranya, menahan letupan kemarahan dan sakit hati. "Dia sudah mati, aku membunuhnya. Apakah kau tidak mengerti juga?" Ini sudah mati, sudah berakhir. Apakah kau tidak bisa melihatnya. Xie Lian merasa bahwa seluruh tubuhnya sakit, hati dan jiwanya seakan dibakar habis. Tetapi dia tidak bisa mengungkapkan hal itu. Biarkan kau membenciku! Aku tidak peduli lagi!
Hua Cheng menahan keinginan untuk membalikkan meja. Bukan hal seperti ini yang dia bayangkan ketika mereka setuju untuk menikah, dalam hubungan mereka dia sempat berpikir bahwa mungkin hubungan mereka bisa bertahan, dia akan berusaha menjadi pasangan yang baik.
Akan tetapi kedinginan dalam ekspresi Xie Lian menunjukkan arah hubungan ini jika terus dilanjutkan, berkata anaknya mati dengan mudah seakan itu bukan darah dagingnya.
Hua Cheng mengusap wajahnya, gemuruh kemarahan meledak-ledak dalam dirinya, "Xie Lian, Ayo bercerai! aku akan mengurus suratnya." Selepas mengatakan itu, Hua Cheng pergi. Dia tidak lagi dapat menopang tubuhnya sendiri jika mereka tetap berhadapan. Apakah naif Hua Cheng berpikir jika hubungan mereka yang kaku akan berubah selama meraka mau saling bekerja sama, paling tidak mereka bisa menjalani dan perlahan mengubah kekakuan yang ada. Hanya saja mungkin cuma dia seorang yang memiliki pikiran itu. Jadi sekarang lebih baik untuk mengakhiri sebelum terlalu banyak kesalahan yang menumpuk.
Surat perceraian datang didepan Xie Lian keesokkan harinya. Penyesalan hanya tinggal penyesalan. Hubuangan mereka hancur karena dia, dirusak oleh keegoisannya.
Xie Lian tidak pernah menyesal menikah dengan Hua Cheng walau pernikahan itu terjadi bukan karena rasa cinta.
Dia menyesal karena tidak bisa mempertahankan hubungan mereka. Karena dia tidak bisa menolong dirinya sendiri, dia selalu percaya, dunia yang kejam ini bukan miliknya.
Jika suatu hari Hua Cheng memaafkannya, dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Xie Lian tahu Hua Cheng sangat mencintainya, tetapi dalam pernikahan yang bahagia dibutuhkan dua orang yang saling mencintai, sementara dia tidak memiliki cukup cinta untuk Hua Cheng. Untuk dirinya sendiri. Seseorang telah menghancurkannya dan itu karena dia lalai.
"Aku putuskan menyerah karena tidak lagi ada yang harus dipertahankan. dengan penyesalan yang setiap menit memberiku sayatan yang lebih pedih. Aku selalu berpikir, jika waktu bisa diulang akankah aku bisa mengubah awalnya? Aku ingin bertemu denganmu lebih awal sehingga hatiku hanya dimiliki olehmu. Maka aku tidak perlu merasakan sakit mencintai orang lain saat kau mencintaiku. Hua Cheng, aku selalu menipu diriku sendiri dan menyakitimu, seandainya surga memberi kita takdir dikehidupan selanjutnya, aku ingin menebus semua kesalahanku." -- Xie Lian
KAMU SEDANG MEMBACA
(End) Redemption
FanfictionKarakter dipinjam dari novel karya mo xiang tong xiu. Fanfiction Hua Cheng x Xie Lian #87-mistery 26/11/21 "Aku putuskan menyerah karena tidak lagi ada yang harus dipertahankan. dengan penyesalan yang setiap menit memberiku sayatan yang lebih pedih...