Tiga Belas

18 4 0
                                    

 "Kenapa pulang? Mommy mana?" Tanya Nam Jin saat melihat sang adik sudah pulang.

"Masih ngurus sesuatu. Kak..., aku mau bicara ama kakak." Nam Jin mengangguk dan mengunci pintu serta beberapa jendela. 

"Bicara di kamar kakak saja, takut ada apa-apa disini." Nam Mi mengerti, segera ia mengekori Nam Jin ke kamarnya yang ada di lantai atas. 

"Bicaralah." Nam Jin langsung to the point ketika sudah menutup pintu dan menguncinya. 

Nam Mi terlihat gagap, segera ia mengelus punggung sang adik untuk menenangkannya. 

"Nih, peluk itu sampai kamu merasa nyaman." Nam Jin melemparkan sebuah boneka yang berbentuk kelinci kearah adiknya. 

Nam Mi menurut, ia memeluk boneka itu sembari bercerita. 

"Kak, aku merasa bersalah sama kakak yang waktu itu."

"Yang mana?" Nam Jin terlihat acuh.

"Yang waktu kakak banting pintu kamar dan aku membentak kakak ketika kau sudah keluar dari kamar." Nam Jin hanya ber-oh ria.

"Jadi?"

"Kakak pernah ngga kayak ngelihat sesuatu pas habis telinga berdenging yang kayak ada suara ngiingg nya gitu." Nam Jin terlihat kaget, kenapa adiknya bisa tahu akan hal itu?

"Kau..., kapan kau melihatnya?" Nam Jin berusaha tetap tenang meski jauh didalam lubuk hati ia merasa was-was.

"Aku melihatnya ketika kakak menangis di kamar. Kukira kakak menangis karena Mommy memarahimu. Ternyata, aku paham saat sudah mendengar dengkuran halusmu." 

"Kau bisa mendengarku menangis didalam kamar kedap suara ini?!" Intonasi Nam Jin tak sengaja meninggi, segera ia membekap mulutnya dan meminta maaf kepada sang adik.

"Iya, aku mendengarnya. Bahkan, suara dengkuran pelanmu dapat kudengar dengan baik meski aku jauh dari pintu kamarmu. Aku selalu risih dengan beberapa suara-suara yang selalu bermunculan saat aku hendak tidur, kakak tahu itu kenapa?" Hahh..., sepertinya inilah saatnya. 

Dengan nafas yang ditarik dalam-dalam, Nam Jin berbicara dengan nada rendah. 

"Dek..., kita istimewa... Kita sangat-sangat istimewa. Ingat beberapa bayang-bayangan yang kau lihat di Jeju kemarin?" Nam Mi mengangguk.

"Itu bayangan seseorang yang sangat kita rindukan. Mungkin saja itu Papa." 

"Papa?"

"Daddy maksudku." 

"Kenapa kau memanggilnya Papa?" 

"Aku tak suka jika memanggilnya Daddy, cukup kak Ji Yoon yang memanggil ayahnya dengan sebutan Daddy." Nam Mi mengangguk.

"Lanjutkan lagi ceritanya, kak." 

"Itu..., tentang bayangan nya. Itu adalah memori seseorang, kita punya bakat istimewa yaitu bisa melihat ingatan atau memori seseorang dengan cara menyentuh ataupun melihat sesuatu yang bisa mengingatkan kita kepada dia. Jadi, kau melihat bayangan itu karena orang itu pernah kesana atau karena ada benda yang terbawa kesana. Kau paham? Maaf penjelasan ku terselip-selip." 

"Aku paham. Tapi, kalau tentang suara-suara yang sering kudengar sebelum tidur?"

"Aku belum tahu dengan pasti, tapi mungkin itu suara..., ah lupakan, jangan terlibat terlalu jauh, dek."

"Kenapa?"

"Cukup kakak saja yang mengurus hal ini, kau jangan ikut campur, bisa nggak?" 

"Akan kuusahakan." 

"Semoga ya? Jangan telalu ikut campur dengan permasalahan itu, dan jangan pernah mencari-tahu siapa pria ber-dimple itu." Nam Jin khawatir jika Nam Mi memberitahukan masalah ini kepada Mommy-nya. Juga, ia tak ingin Mommy nya khawatir tentang keadaan Papa nya.

***

"Kenapa kau datang lagi, hah?!" Namjoon membentak orang yang telah memabawanya ke-sebuah hutan.

"Cih, tentu saja aku membawakan makanan untukmu. Melihat badanmu yang sudah kurus karempeng ini, aku menjadi kasihan melihatmu. Cepat makan!" Bentak orang bertopeng hitam dengan corak seperti diamond hitam. 

"Aku tak ingin makan yang dibuat oleh mu." NamJoon meludahi piring yang berisi makanan yang mengunggah selera.

"Menghina sekali kau, apakah kau memang ingin hidup disini sampai menjadi tulang-belulang?" 

"Aku akan keluar disini, apapun resiko nya, apapun itu!" 

"Berharaplah, Letnan Kim." Orang bertopeng itu melangkah mundur dan pergi meninggalkan NamJoon.

NamJoon memang tak diikat, tapi ia harus mencari cara untuk keluar tanpa terekam kamera-kamera. Didalam sana, lebih spesifiknya adalah Goa, ada banyak sekali kamera yang terhubung. Mulai dari kamera jenis GoPro, kamera seonsor otomatis, dan banyak jenis-jenis kamera. Juga, jangan lupakan seperangkat pengambil audio yang sangat sensitif. Suara sekecil apapun akan terekam dengan jelas didalam file memory chip alat itu. 

"Aku merindukan anak-anakku, nama mereka siapa saja ya? Mereka ada berapa ya? Kuharap mereka kembar." NamJoon dnegan penuh harapan berdoa dalam diam, semoga saja anak-anaknya tak mengetahui informasi tentangnya. Cukup Seokjin-nya saja yang mengetahui akan hal itu. 


***

"Kak, aku ga bakal ke Jeju lagi besok, aku mau sama kakak saja."

"Why?"

"Aku takut jika berada disana, pernah saat aku menunjuk kios yang didalam nya ada Ahjussi mabuk aku mendengar sesuatu yang sangat asing. Pertamanya aku tak mendengar dengan jelas, tapi lama kelamaan suaranya makin menyeramkan." Nam Jin berpikir sejenak. 

"Bolehkah?" Nam Jin meminta izin ketika ingin memegang tangan Nam Mi untuk melihat ingatan adiknya itu. 

"Silahkan." Nam Mi tersenyum dan menaruh tangannya diatas paha Nam Jin. Nam Jin memperhatikan ingatan itu dengan seksama. Setelah selesai, ia merapikan ingatan tersebut dan menyimpannya didalam ingatan. 

"Sudah, kau merasakan efek samping ketika aku memegangmu?" Nam Jin agak khawatir jika kemampuannya bisa menimbulkan efek samping. 

"Tid-" 

Hueek

Nam Jin terkejut, segera ia menggendong adiknya kekamar mandi ala bridal style.

Adiknya muntah darah, sangat banyak.

Ia tak tahu harus bagaimana, segera ia melepaskan kemeja milik adiknya dan menggantinya dengan kaus biasa. Memanggil Bibi yang bertugas menjaganya dirumah, pergi ke rumah sakit, dan menunggu hasil dari dokter. 

"Bagaimana keadaannya, dok?" Nam Jin langsung melontarkan pertanyaan ketika dokter dari ruangan putih-biru itu keluar.

"Ia tak apa, hanya saja ia agak sedikit syok. Apakah tadi ada sesuatu yang membuatnya syok?" Nam Jin menggeleng.

"Berarti ia hanya kehabisan nafas, akan kuberikan resep obat untuk adikmu. Juga, jangan lupa beli inhaler di apotek depan. Bilang 'pesan inhaler khusus, bukan untuk asma'." Nam Jin mengangguk tanda mengerti. 

 Ia berjalan menuju apotek didepan dan memandang langkah kakinya. Ia merasa bersalah pada adiknya, ia rasa, seharusnya ia hanya melihat kepala adiknya saja, bukan memegangnya. 

Ia menatap inhaler yang ia pegang, ia tak tahu harus mengatakan apa pada Mommy-nya. Ia sangat merasa bersalah, sangat. 

***


Segini dulu ya? Udah kepanjangan nieh, see u in the next chapter~

~Love From Rain~

2021-11-10

NamJin Fanfiction : Don't Go Kim Namjoon! [DON'T GO THE SERIES 3] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang