Empat Belas

19 5 0
                                    

Geram aku, kenapa di book ini ga ada satupun comment? meski cuman secuil aja ga ada, pelit banget buat comment disini:" Ga bakal ada chapter lanjutan klo ga comment //sinis.
mari kita mulai.

***

"Udah mendingan?" Nam Jin bertanya ketika melihat adiknya berusaha untuk duduk. 

Nam Mi mengangguk, ia memegang kepalanya yang pusing. Didalam mulutnya, ada aroma dan rasa besi, mungkin masih ada bekas darah didalam situ. 

"Kak, ayo pulang. Aku mual ketika mencium aroma ruangan ini." Nam Mi mengerjab-ngerjab kan matanya yang terasa berat. 

"Kau masih harus diberi vitamin, kita tunggu saja sampai cairan infus vitamin itu habis." Nam Mi melihat punggung tangannya yang terdapat selang serta beberapa perban yang menutup jarum. 

"Aku mau lepas, ini ga nyaman banget." Nam Mi banyak mengeluh.

" Nam Mi, kau mau sehat atau tidak, huh? Jika kau mengeluh sekali lagi, akan kutinggal sampai kau menangis." Nam Mi membungkam mulutnya, ia menatap nakas yang penuh dengan camilan. 

"Mau itu..." Nam Mi bergumam, Nam Jin yang peka terhadap itu langsung bereaksi. 

"Kau masih harus puasa sebentar, nanti kalau sudah jam 2 lewat 5 menit baru boleh makan dan minum." Oh, ayolah. Sekarang masih jam 12, mana kuat ia menahan lapar. 

"Mengeluh lagi?" Nam Jin menatap adiknya dengan wajah sangar, sang adik menundukkan kepalanya, takut. 

***

"Ya halo?" 

"Hah? Jangan main-main ya!" 

"Baiklah, aku kesana sekarang." 

Seokjin terkejut ketika mendapat panggilan dari Bibi yang ditugaskan untuk menjaga anak-anaknya. 

"Sial, kenapa hariku sangat berantakan hah?!" Seokjin tersulut emosi ketika mendapati jalanan yang macet. 

Ia memutar stir mobil dengan kasar dan mencari jalan pintas. 

Ia kini berada di bandara, segera ia check in dan masuk kedalam pesawat. Tak butuh waktu lama, hanya 60 menit dengan perjalanan udara. 

Bunyi langkah kaki yang tergesa-gesa bergema di sepanjang lorong ruangan bernuansa putih itu. Suara nafas yang tersendat-sendat, suara adrenalin yang berpacu dengan cepat, dan bunyi sistem navigasi ponsel pintar bergema di lorong tersebut. 

Gubrak!

Pintu hijau tosca itu dibuka dengan kasar, membuat orang yang ada didalamnya terkejut. 

"Nam Mi-yaa! Kau tak apa?!" Seokjin membanting barang bawaan nya ke lantai, mengecek kondisi putrinya. 

"Aku baik-baik saja, Mom." Ujar Nam Mi lirih, ia tahu kalau Mommy-nya akan seperti ini. 

"Nam Jin, kita bicara dulu diluar. Taruh pisau itu dan cepat jalan keluar." Nam Jin menaruh pisau yang ia gunakan untuk memotong apel dan berjalan ke pintu keluar. 

"Jelaskan." Seokjin berbicara dengan kepala panas, seharusnya ia mendinginkan kepalanya terlebih dahulu.

"Aku takut Mommy tak percaya padaku." Nam Jin langsung buka suara ketika Seokjin hendak bersidekap dada. 

"Apa yang membuatku tak percaya, huh?" 

"Aku bisa saja membuat Mommy percaya, tapi aku tak mau nasib Mommy sama dengan nasib Nam Mi." 

"Jelaskan pakai kata-kata, Mommy akan berjanji untuk mempercayai ucapanmu." Final Seokjin. 

"Baiklah, kuharap Mommy tak menginginkan bukti." 

"Cepat jelaskan." Nam Jin mengangguk dan menyuruh Mommy-nya duduk di kursi yang disediakan di depan bangsal. 

Setelah menjelaskan cukup lama, Seokjin yang mendengar itu antara ragu dan antara percaya. Bahkan, otaknya langsung dirasa lumpuh sesaat ketika berusaha mencerna kata-kata dari ucapan anak sulungnya. 

"Segitu saja, nanti lama kelamaan Mommy bakal tahu aku tuh kayak apa. Jadi, sekali lagi, Mommy jangan menyuruhku memegang tangan Mommy. Itu demi keselamatanmu, Mom." 

"Baiklah, Mommy percaya. Jadi, katakan saja dimana Daddy." Adrenalin Seokjin berpacu dengan cepat. 

"Aku tak tahu akan membantu atau tidak, tapi yang terpenting ia ada di sebuah gua dan didalamnya terdapat banyak kamera serta perangkap, yang paling parahnya ada banyak ranjau-nya."

"Apa itu ranjau?" Seokjin masih belum mengerti tentang benda itu. 

"Seperti bom, ia akan meledak ketika sensor otomatisnya bekerja. Misalnya, ada boneka yang jatuh didepan ranjau itu, alhasil ranjau itu akan meledak, menghancurkan boneka itu dalam sekejap." Oke, Seokjin mengerti. 

"Dan yang terakhir..." Nam Jin memotong ucapan nya. 

"Apa?" 

"Aku tak ingin memanggil ayahku dengan sebutan Daddy, biarkan aku memanggilnya dengan sebutan Papa. Bolehkan?"

"Ya, yang penting kau nyaman."

"Dan juga, kalau Mommy melihat Nam Mi menangis, jangan tanya kenapa. Tapi, buatlah ia tenang. kalau ia menangis, tandanya ia sedang mendengar suara-suara asing dan juga melihat memori milik orang lain. Jadi, kumohon Mommy tenangkan saja dia, ya? Jangan tanya kenapa." Seokjin mengangguk mengiyakan. Kedua Ibu-anak itu kembali kedalam kamar yang penuh dengan bau alkohol rumah sakit.  

***

Tbc

Maaf agak lama, authornya lagi sibuk ngebuat logo-logo. Jadi, maklumin saja ya?

Nanti kalau ada yang belum paham di chapter ini, silahkan bertanya kapanpun yang kau butuhkan. 

Love

2021-11-11

NamJin Fanfiction : Don't Go Kim Namjoon! [DON'T GO THE SERIES 3] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang