"Ipuuuul! Kopi gue mana?" Joka sudah bertanya ketiga kalinya dan kali ini nada lemah lembutnya sudah hilang. Ia gemas karena office boy yang berada di lantainya ini pelupa akut. Ia menunggu kopinya hampir setengah jam, sedangkan pantry-nya berada di lantai yang sama, bukannya Ipul harus menaiki angkot untuk membuatnya.
Sumpah, kalau bukan karena pekerjaan yang menumpuk dan harus diselesaikan lebih cepat hari ini, Joka tidak akan meminta Ipul untuk membuatkannya kopi.
Syaiful, atau yang lebih beken dipanggil Ipul (ini dia sendiri yang bilang) tergopoh-gopoh mendatangi mejanya dengan satu nampan yang sudah penuh dengan tumpahan kopi. Joka menatap isi cangkir itu yang bahkan tidak sampai setengahnya lagi. Sisian cangkir itu tidak luput dari noda-noda hitam kopi.
"Lo mau gue seruput kopinya dari nampan a la kopi gelas terbalik apa gimana?" sindirnya pada Ipul yang hanya meringis melihat hasil karyanya sendiri.
"Maaf, Mbak. Saya lupa banget tadi."
Joka hanya bisa pasrah, meminta Ipul melakukannya lagi hanya akan memancing emosi dan membuatnya sakit perut. "Ya sudah, gue minum ini aja. Thanks." Ipul meletakkan cangkir kopi beserta nampan-nampannya di atas meja, lalu mengambil langkah mundur, bersiap pergi. "Lho, Pul, ini nampannya ngapain lo tinggal di sini?"
Alis ipul mengkerut, satu tangannya menggaruk belakang leher yang tidak gatal. "Katanya Mbak mau minum dari nampannya."
Joka menepuk jidatnya dengan kencang. Ia tidak mampu lagi berkata-kata untuk meladeni Ipul. Sementara itu, teman-temannya di kubikel lain tampak terhibur dengan pertunjukan lawak yang akan tampak menyenangkan jika buka ia yang melakoni.
"Pul, lo buruan pergi sebelum diterkam sama Joka. Dia belum makan dan Pak Ed kasih pekerjaan setumpuk." Kikik Ratna.
Joka menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali, menata emosinya yang tidak akan baik jika meledak di ka--
"Jadi Mbak, ini nampannya saya ambil aja?" pertanyaan Ipul bak jarum yang menusuk balon emosi yang berusaha dikempiskannya.
"IPUUUUUL!"
***
Kepalanya seperti mengebul setelah ia menyelesaikan lima memo yang diminta bosnya sebelum pukul empat sore. Memo-memo yang ajaib itu memang tidak sering muncul, tetapi sekali ada permintaan maka harus diselesaikan dalam waktu tiga jam. Itu pun bukan hanya satu memo. Hari ini ia kebagian jatah lima memo dari lima perusahaan berbeda. Bayangkan ia harus mengatur jadwal promosinya di tiap pusat perbelanjaan yang berbeda serta mengejar layout untuk promosi.
Moto yang disandang bosnya adalah client wants, client gets. Yang bonyok sudah pasti karyawan kelas bawah sepertinya yang harus pasrah menerima perintah. Kalau menurut Ratna, ini adalah kedewasaan yang sesungguhnya. Mulut mau teriak "Lo gila apa kelarin kerjaan segitu banyak dalam waktu tiga jam?!" tetapi ia malah akan mengangguk dan mengatakan "Baik, Pak." Meskipun meringis.
Matanya terbuka saat pipinya menyentuh permukaan keras yang sedikit basah dan dingin. "Kopi. Lo babak belur banget." Arifin berkata. Lelaki ini yang sudah malang melintang di perusahaan tempatnya bekerja lebih dari sepuluh tahun dan tahu betul bagaimana ritme kerjanya.
"Mas Ari, gue gak bisa banget kalau harus kerja kayak gini lagi." Ia sudah hampir menangis, tetapi pria itu justru tertawa.
"Inget cicilan kartu kredit, Jo. Lo mau bayar pakai apaan kalau gak kerja lagi? Gini-gini kan kantor gajinya lumayan, belum lagi bonus tahunannya bisa bikin lo belanja tas di Plaza Indonesia. Bisa lo lepasin kesempatan foya-foya tahunan?" Arifin memberatkan ucapan pada bonus dan gaji yang langsung membuatnya berpikir ulang akan keputusannya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flutters [FIN]
RomanceJoka Manurung menyukai kestabilan. Deretan mantannya adalah pria-pria yang memiliki title yang sama. Pekerja kantoran dengan karier yang gemilang dan secemerlang masa depan yang dibayangkannya jika sudah menikah nanti. Oh, jangan salah sangka. Joka...