Ezra memandang temannya itu dengan kelopak mata yang menyipit. "Lo mabuk ya?" ia mengendus di sekitaran mulut Oz, mencari tanda-tanda untuk meyakini teorinya. Tidak ada. Pria itu tidak mabuk karena yang tercium dari mulutnya adalah bau pasta gigi. Tidak ada tanda-tanda juga kalau pria itu berbicara ngawur karena pengaruh alkohol.
Oz memundurkan tubuhnya dan menggeplak kepala Ezra. "Gue mana bisa minum alkohol kalau di rumah nyokap." Pria itu menyerah untuk duduk berdempetan di sofa dan kini selonjoran di lantai. "Pernah kepikiran gak sih, bisa jadi lo yang gak bisa lupa sama dia karena lo masih sakit hati?" Ron dan Shaul mendengarkan, menunggu kelanjutan kalimat Oz karena pria itu tampak belum selesai berbicara. Posisinya sekarang memudahkan mereka semua untuk fokus pada Oz. Pria itu tampak menikmati perhatian yang kini tertuju padanya. Dasar gila perhatian memang.
"Terserah lo, sih, E. Tapi, gue gak suka sama dia." Shaul memberikan pendapatnya out of the blue. Menolak ide Oz terang-terangan. Untuk Shaul, kata tidak suka berarti pria itu benar-benar tidak menyukainya. Saat dulu ia mencoba lagi untuk bekerja kantoran karena permintaan Joka, Shaul yang paling menentangnya. Jadwal kerja dari pagi sampai malam sudah pasti mengganggu jadwal latihan dan juga pekerjaan tambahan mereka manggung di salah satu kafe. Ia pernah datang terlambat karena terpaksa lembur di kantor, padahal sudah ada janji untuk manggung di kafe saudara Shaul. Hingga akhirnya ia tidak tahan dengan pekerjaannya dan keluar. "Itu cuma pendapat gue, ya. Terserah lo mau deketin dia lagi atau engga. Yang pasti, jangan harap gue mau beramah tamah sama dia kalau ketemu."
Ezra meringis, tahu betul Shaul bahkan tidak mau berada di ruangan yang sama kalau sudah tidak menyukai seseorang. Seakan menghirup oksigen yang sama adalah suatu dosa besar baginya.
"Gue sejujurnya juga gak suka sama dia, tapi semakin dipikirin, alasan dia dulu itu masuk akal buat gue." Ron mengemukakan pendapatnya. Melihat tiga pasang mata yang menatapnya sinis, ia melanjutkan, "Umur dia dulu seperempat abad, guys. Dia mau juga diajak susah sama E dulu. Bayangin deh, lo pernah bawa dia ke mana gak kayak cowok-cowok di luaran sana? Beliin bunga? Beliin perhiasan? Belanjain dia? Boro-boro, kita dulu buat makan aja sulit. Gue bahkan yakin, beberapa kali Joka buka dompetnya buat beliin lo sesuatu. Dia pacar, bukannya istri yang diikat janji for better or worse."Oz menyuarakan ketidaksetujuannya pada Ron. "Nah, itu. Dia bukan diikat janji sebagai suami juga yang harus beliin perhiasan dan belanjain si Joko. Tapi, bukannya E juga gak berusaha buat dia senang, kan? Sering banget dia hemat-hemat makan buat bawa Joko jalan, sekedar nonton di bioskop dan makan di pinggiran. Atau nabung-nabung untuk beliin kado ulang tahun. Atau Ezra yang nambah kerjaan sampingan dengan kasih les musik ke anak-anak. Kita semua tahu, Ezra bukan tipe pelit perkara uang."
Kedua orang itu sukses mengombang-ambingkan hatinya dengan argumen yang semuanya tepat mengenai sasaran. Joka yang tidak mengeluh ketika diajak makan dipinggiran, meskipun sesekali perempuan itu akan ngambek karena ia tidak mau diajak menonton. Bukannya apa-apa, duitnya tidak ada dan sebisa mungkin Ezra merasa harus membayari Joka karena ajaran ibunya. Di lain sisi, ia juga membenarkan ucapan Oz. Ia dulu menambah pekerjaan sampingannya dengan memberikan les musik pada beberapa anak di daerah kosan mereka. Tanpa sepengetahuan Joka tentu saja, karena uangnya digunakan untuk keperluan sehari-hari dan juga tabungan. Jika Joka tahu, sudah pasti perempuan itu akan menyuruhnya berhenti dan memasukkan CV-nya ke berbagai perusahaan lagi. Ezra sudah berusaha berkompromi, tetapi ia benar-benar tidak bisa jika harus bekerja kantoran.
Melihat tidak ada yang membalas ucapannya, Ron kembali membuka suara. "Kita semua juga sama-sama tahu gimana susahnya dulu. Keluarga kita berempat yang juga bukan dari kalangan berada, kecuali Ron. Ezra bahkan gak dianggap anak karena lebih milih musik dibanding PNS yang dijunjung bokapnya. Tapi, bukan berarti kita gak berusaha kan? Gue paham perasaan E yang marah dan kecewa sewaktu usahanya selama ini dianggap angin lalu. We work really hard for this. Selain Apa sih yang kita minta dari pacar-pacar kita dulu? Cuma kesabaran dan pengertian mereka aja, kok."
Masing-masing dari mereka terenyak akan pendapat Oz. Segala macam pikiran bermain di otak mereka, membangkitkan rasa kecewa yang dipendam selama bertahun-tahun."Terus ide lo apa?" Shaul menengahi keributan antara mereka berdua.
"Gue mikir nih—" Lanjutnya yang langsung dipotong oleh Shaul.
"Tumben lo bisa mikir? Otak lo sudah diambil dari pegadaian apa gimana?"
"Diam, Sha. Orang-orang dewasa yang pernah punya hubungan serius mau bicara." Balasnya tak mau kalah. Tangannya mengelilingi mereka bertiga, kecuali Shaul. Menggoda Shaul yang lebih senang berteman dan beramah tamah dengan para perempuan. Melihat tidak ada perlawanan dari Shaul membuat Oz melanjutkan idenya. "Gue mikir kenapa lo gak pacarin aja si Joko. Terus lo putusin kayak dulu dia putusin lo pas lagi sayang-sayangnya. Dengan alasan yang sama. Lo milih cewek yang jauh lebih mapan dari dia. Banyak kan cewek-cewek yang lebih mapan atau lebih wah dari dia? I mean, seingat gue, Joka gak secantik itu. Mantan lo yang lain banyak yang lebih cantik dari dia, secara karier pun juga jauh di atas cewek itu."
5/9/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Flutters [FIN]
RomanceJoka Manurung menyukai kestabilan. Deretan mantannya adalah pria-pria yang memiliki title yang sama. Pekerja kantoran dengan karier yang gemilang dan secemerlang masa depan yang dibayangkannya jika sudah menikah nanti. Oh, jangan salah sangka. Joka...