4 Tahun yang lalu
"Mama! Mama jangan pergi ma!" Kiara menangis terisak-isak.
"Kiara sayang, baik-baik ya sama Papa. Mama sayang banget sama Kiara." Ucap mamanya dengan sedih. Air mata bergelimang di mata mama yang indah.
"Kiara! Masuk kamu!" Teriak ayahnya dari dalam. Penuh kemarahan dan emosi.
Kiara tidak menghiraukan suara ayahnya. Ia mengusap lebam pada pipi mamanya. Kecantikan mama tidak berkurang sedikitpun. Dilihatnya mama meringis. Luka itu baru, dan perih.
Betapa sakit hati gadis yang berusia 14 tahun ini. Didepan matanya ia melihat mamanya dipukul oleh Papa.
"Masuk gih sayang. Jangan bikin Papa marah."
"Tapi Mama..." Tangisnya pecah lagi.
"Mama akan kembali kok. Mama pasti kembali lagi." Janji mamanya itu.
Tapi Kiara cukup besar untuk mengerti. "Nggak! Mama jangan balik lagi! Nanti Papa akan nyakitin Mama lagi!" Tangisnya.
Rasa perih menusuk-nusuk hatinya dengan kejam. Seakan sebuah belati menusuk dadanya. Kiara tau, ia harus merelakan mamanya.
"KIARA MAHARANI!" teriak ayahnya yang murka.
Untuk terakhir kalinya Kiara memeluk mamanya. "Semoga mama bahagia."
Ia lalu berlari masuk kedalam rumah. Bersiap-siap untuk dipukuli ayahnya. Betul saja. Punggungnya berdarah-darah terkena cambukan rotan yang kejam. Namun dipaksakan agar ia tidak menangis.
Setelah kemarahan ayahnya surut, seorang pembantu membantunya masuk dan rebahan di ranjang. Setelah sampai di kamar barulah ia menangis dalam pelukan pembantunya itu.
Tangisannya pilu, tidak seperti anak seusianya yang menangis keras, ia hanya terisak sesekali. Namun air matanya mengalir dalam kesunyian. Menyayat hati sang Bibi yang sungguh tak tega melihat Kiara yang ceria menangis dicambuki ayahnya sendiri.
Tiga hari kemudian ayahnya tidak ada dirumah. Kiara menunggu kedatangan satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SD, Rainer. Biasanya anak laki-laki itu rajin datang setiap sore. Namun entah bagaimana, ia tak datang lagi.
Setelah lukanya membaik Kiara mencari sahabatnya itu di sekolah. Namun seakan hilang ditelan bumi, Rainer tidak datang-datang. Kiara merasa sendirian.
Di hari ketiga, ia mengetuk ruang TU bermaksud menanyakan alamat rumah Rainer.
"Permisi Bu. Saya mau tanya tentang data murid."
"Kami tidak bisa memberikan data murid say." Ibu TU itu tersenyum, membetulkan kacamatanya. "Kamu emangnya cari siapa?"
"Rainer Bu. Saya udah 3 hari gak ketemu dia. Rainer Agung Adinata."
"Loh bukannya dia pindah sekolah seminggu yang lalu?"
Matanya terbelalak. Rainer? Pindah? "Nggak mungkin Bu. Dia belom bilang apa-apa sama saya." Kakinya terasa lemas.
"Sebentar ya." Ucap Ibu itu sambil membuka buku di depannya. Lalu menuliskan sesuatu pada secarik kertas yang disobeknya asal.
"Ini dia alamatnya. Coba kamu tanya sama dia."
"Tapi tadi kata Ibu gakbisa bocorin informasi murid?"
"Dia sudah pindah sekolah dek."
Setengah takut, ia menghampiri rumah Rainer sepulang sekolah. Ia sadar bahwa selama ini dia hampir tidak tau hal-hal penting tentang Rainer.
Ia menekan bel. Sekali, dua kali, tiga kali. Nyatalah ketakutannya. Rainer tidak menepati janji yang dibuatnya bertahun-tahun yang lalu.
"Tau gak sih? Rasanya temen aku cuma kamu." Tanya Kiara menyuarakan kebingungannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Breathe Without You
Teen FictionEmpat tahun bukan waktu yang singkat. Bukan juga cepat. Kiara berubah 180 derajat ketika dunianya yang sempurna runtuh. Dan hanya butuh waktu sedikit baginya untuk melangkah ke jalan yang salah. Ketika sahabat masa lalunya datang, Kiara bimbang kema...