Sisa pelajaran sekolah sudah tidak ada yang terdengar olehnya. Saat doa selesai diucapkan, Kiara melesat lebih dulu, dia berlari, betul-betul berlari ke bawah dan ke mobilnya. Icha memintanya untuk menenangkan diri, tapi ia tidak bisa. Ia punya banyak kemungkinan. Puluhan bahkan, dan ia butuh jawaban.
Kiara mengebut ke Rumah Sakit. Ia tidak tahu tempatnya. Hanya dengan mengandalkan gps, dia sampai disana satu setengah jam kemudian.
"Pasien yang namanya Rainer Agung kamar nomor berapa?" Tanya Kiara ke resepsionis.
Sang resepsionis mengetikkan nama itu di komputernya. "Lantai 7 nomor 429."
Kiara melesat tanpa mengucapkan terimakasih. Bahkan lift terasa begitu lama untuknya. Ia naik ke lantai tujuh, karena setengah berlari, tak sengaja Kiara menabrak seorang cowok jangkung di tikungan. Untungnya, Kiara tidak jatuh.
"Eh sorry." Gumamnya lalu melewati cowok itu.
Kiara menemukan kamar nomor 429 di paling ujung. Dia menarik dan menghembuskan nafas tiga kali sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Beberapa saat tidak ada jawaban, Kiara membuka pintu itu dengan pelan. Ada Rainer disana. Beberapa mesin berbunyi dengan irama yang tidak berubah.
Detik itu juga hatinya hancur. Mesin-mesin aneh yang berisik itu terhubung ke tubuh Rainer. Seakan-akan Rainer begitu lemah. Kiara menangis dalam kesunyian, takut jika suaranya membangunkan Rainer.
Tapi seakan menyadari keberadaannya, Rainer terbangun, melihatnya dan tersenyum dibalik masker pernafasannya. "Sini Ra." Panggilnya dengan lembut. Entah sengaja selembut itu, atau memang tidak punya tenaga.
Kiara berjalan mendekati Rainer, dan duduk disamping ranjangnya. Matanya menatap Rainer, kemudian infusnya, maskernya, dan selang-selang yang terhubung ke tubuh Rainer.
"Tau dari siapa?" Rainer tersenyum sedih. Suaranya pelan, agak berbisik.
Kiara menggeleng. Air matanya masih mengalir menuruni pipinya. "Kamu kenapa gak bilang?" Tanya Kiara, berusaha setenang mungkin.
"Aku gak mau liat kamu nangis." Rainer menatapnya lembut. Tangannya yang dingin mengusap air mata Kiara. "Aku baru aja mimpi, aku mimpi kita main di lembah karmel. Kelas berapa ya itu?" Matanya terpejam.
"Retret kelas enam." Jawab Kiara lembut. Ia menangkup tangan Rainer.
Tapi Rainer tidak menjawab. Matanya terpejam, tertidur. Sedangkan tangannya menggenggam erat Kiara.
"Dia dibius obat tidur tadi."
Kiara menoleh ke asal suara yang berbisik itu. Cowok jangkung yang tadi ditabraknya. "Maaf main masuk aja kesini." Ucap Kiara, pandangannya kembali pada Rainer.
"Lo pasti Kiara? Gue kakaknya, Yudha." Yudha duduk di sofa dekatnya berdiri.
"Gue gatau kalo Rainer punya kakak." Ucap Kiara dengan datar.
"Gue dipinjemin ke tante gue sejak SD. Panjanglah ceritanya." Balasnya asal.
Kiara kembali memandang Rainer. Dia tau bahwa Rainer hanya ingin berteman dengannya. Tapi ia tidak bisa meninggalkan Rainer. Biarlah ia menelan semua egonya saat ini.
"Lima tahun yang lalu, dia bukan ninggalin lo." Ujar Yudha tiba-tiba.
"Maksudnya?" Kiara berpaling ke cowok jangkung itu.
"Dia drop dan rawat inap. Dokter bilang dia harus segera terapi karena kondisi jantungnya cukup parah. Kita bawa dia terapi di Singapura malam itu juga. Waktu balik kesini dia udah hampir pulih. Dokter bilang dia udah bisa bertingkah laku normal."
Kiara tertegun.
"Waktu lo dateng ke rumah 5 tahun yang lalu, gue ada disana, tapi gue gatau mau bilang apa, karena Rainer udah di Singapura waktu itu. Maaf."
Kiara memejamkan matanya. Kenapa kamu gak bilang Rai?! Kenapa kamu gak bilang?! Aku... aku... aku pasti bisa temenin kamu saat itu!
"Harusnya dia belom balik Jakarta tahun ini. Tapi dia gaksengaja ngeliat lo di instagram temen gue dan maksa pulang." Ujarnya dengan kekesalan yang tidak disembunyikan sama sekali.
"Foto gue?" Kiara mengeryit.
"Iya. Foto lo lagi clubbing sama temen-temen lo. Padahal terapinya berjalan baik. Gara-gara lo, jantungnya kumat!" Bentak Yudha stengah mendesis tapi penuh dengan kekesalan. "Dia ngerasa bersalah. Memohon supaya dia diijinin untuk nebus kesalahan yang gak ada hubungannya sama dia."
Kiara menutup mulutnya. Gara-gara gue? "Tapi... tapi..." gue alasan dia ke Jakarta? Ninggalin pengobatannya?
"Rainer bakalan dikirim balik ke Singapura. Jadi tolong, beresin hidup lo yang menyedihkan biar dia bisa tenang."
Kiara marah tapi tak bisa membalas apa-apa. Ia berlari keluar, meninggalkan pintu tanpa ditutup. Oh god. What have I done? Kiara sadar, semua itu benar. Kalau bukan karena dia, mungkin Rainer bakalan baik-baik saja.
Kiara berjalan pulang tanpa memedulikan pandangan kasihan orang-orang disekitarnya. Ucapan Yudha terulang-ulang di benaknya. Dan kebanggaan yang ia rasakan ketika clubbing, kebanggaan ketika semua cowok memandangnya, kebanggaan ketika pulang pagi, semua itu menohok hatinya. Betapa menyesalnya dia. Andaikan dia tidak pernah melakukan semua itu tentulah Rainer baik-baik saja di Singapura.
Tapi tidak ada gunanya menyesal. Sudah terlambat. Meskipun ia tidak sedikitpun menyukai Yudha, tapi saran pria itu adalah satu-satunya hal yang ia bisa lakukan buat Rainer. Memperbaiki dirinya, meski sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Breathe Without You
Teen FictionEmpat tahun bukan waktu yang singkat. Bukan juga cepat. Kiara berubah 180 derajat ketika dunianya yang sempurna runtuh. Dan hanya butuh waktu sedikit baginya untuk melangkah ke jalan yang salah. Ketika sahabat masa lalunya datang, Kiara bimbang kema...