“OMG! Tadi dia senyum ke gue!”
Kiara yang sedang asik menyantap mie langsung berdecak kesal. Aduh, masuk kantin teriak-teriak. Dasar ganjen. Ucapnya dalam hati. Apalagi suara cempreng adik kelasnya itu kurang enak didengar.
“Siapa? Rainer? Dika?”
Telinga Kiara langsung jadi super sensitif ketika nama Rainer disebut.
“Rainer! Oh my God, senyumnya manis banget, kayak malaikat!” Teriak cewe itu lagi.
"Baru disenyumin aja udah girang. Kemaren lesung pipit gw dibilang manis."
"Ahh enak ya punya lesung pipit. Eh tapi katanya anak kelas 10 ada yang hampir dipeluk gara-gara bediri pas bola basket melayang ke dia."
"Itu sih caper."
"Tapi terus si cewek itu minta nomornya si Rainer. Eh dikasih!"
"HAH! Ew! Caper banget sih tuh cewek? Gak tau ma--"
BRAK! Kiara memukul mejanya. Kini lantaran menertawakan kecentilan dua cewek tadi, semua malah memandang Kiara. Ada yang kaget, ada yang bersemangat menonton. Siapa yang tidak tau kalau Rainer dan Kiara “dekat”? Siapa juga yang tidak tau siapa Kiara itu?
“Lo kira suara lo enak di denger apa?” Tanya Kiara sinis.
Kedua cewe tadi langsung menunduk. “Eh... anu... saya gak tau kak Kiara ada disini.” Suaranya pelan.
“Jadi, gue yang salah?!” Tanya Kiara lagi, suaranya meningkat satu oktaf.
“Ng—nggak kak. Saya yang salah kok.”
Kiara berjalan mendekat lalu menarik kerah cewek itu dengan paksa. “Suara lo tuh bikin kuping gue sakit. Lo tau kan, ini tempat umum?”
“I—iya kak.”
“Next time, pastiin gue gak pernah ngedenger suara lo lagi. Ngerti?” Bentaknya pada kedua cewe tadi. "Dan lo ya. Lo kira lo gak caper? Baru disenyumin aja bangga! Besok, kalo gue denger suara lo lagi, gue pastiin lo gak akan naik kelas.
Kedua cewek itu mengangguk patuh, membuat Kiara tersenyum sinis lalu mendorong cewek itu dengan kasar.
Kiara berbalik, —entah sejak kapan—, Rio memperhatikan mereka. Cowok dengan tiga tindikkan itu bersandar pada dinding, hanya menonton dengan senyuman.
Kiara berjalan melewati Rio, “Terserah lo mau pikir apaan Yo. I aint got time for that.” Ucapnya sinis.
“Lo jatuh cinta. Itu yang ada di pikiran gue.” Ucap cowok itu, mengejar langkahnya.
Kiara bisa merasakan darah naik ke kepalanya. Dalam hitungan detik dia berbalik kearah Rio lalu mengarahkan kepalan tangannya ke rahang cowok itu. Tapi Rio sudah menebaknya, ia bisa menahan tangan Kiara.
“Woi, lo cewek kali, Ra.” Protes Rio, setengah bercanda.
“Bacot lo kayak cewek!” Balas Kiara sinis, menghentakkan tangannya agar lepas dari cengkraman Rio yang kuat. Tangan Kiara berbekas merah, tapi ia tidak mempedulikannya.
“Kalo lo suka sama dia—“
“Gue. Gak. Suka. Sama. Siapapun.”
“Dengerin dulu. Kalo lo suka sama dia, bilang ke Axel sekarang.” Rio menghembuskan napasnya. “Tadi malem tuh bocah mabok sampe malem, gue gak bisa liat dia begitu mulu. Mau sampe kapan?”
Kiara terdiam sesaat. Wajahnya memanas. “Lah, bukan salah gue kalo dia suka sama gue. Gue udah bilang kok kalo dia gak punya tempat selain temen di hati gue.”
KAMU SEDANG MEMBACA
To Breathe Without You
Teen FictionEmpat tahun bukan waktu yang singkat. Bukan juga cepat. Kiara berubah 180 derajat ketika dunianya yang sempurna runtuh. Dan hanya butuh waktu sedikit baginya untuk melangkah ke jalan yang salah. Ketika sahabat masa lalunya datang, Kiara bimbang kema...