Chapter 12

760 13 1
                                    

Rachel menutup pintu di belakangnya. Sangat sulit berpura-pura senang dan tersenyum ketika hatinya hancur. Anak bungsunya... Rainer, memang tidak pernah sehat sejak kecil. Apalagi dengan golongan darah seperti itu, sulit baginya untuk mendapatkan donor yang cocok.

Dan baru saja, dia mendengar deklarasi anaknya. Anak itu sudah pasrah. Meski semua diucapkannya dengan tenang, tapi Rachel, ibunya, tentu mengerti apa yang dirasakan Rainer. Hatinya merasa sakit sekali. Di saat-saat seperti ini, dia sangat menginginkan Jordan ada disampingnya, tapi suaminya itu harus berkerja, mereka berdua harus berkerja untuk bisa mempertahankan Rainer. Tapi bagaimana mungkin, bila Rainernya sudah pasrah seperti itu.

Dia tidak ingin menangis di depan anaknya, karena itulah dia ingin keluar tadi, tapi ternyata Kiara datang. Untunglah Rainer memahaminya, Rainer mengarang alasan yang membuatnya terbebas dari situasi yang tidak enak. Mencari Yudha. Rachel tersenyum. Yudha harus melanjutkan studinya di Jepang. Anak itu hanya cuti untuk tiga hari, tapi kakak yang mana yang bisa meninggalkan adiknya sendirian di rumah sakit demi pendidikan?

Rachel mengatur napasnya yang tidak karuan. Ia tidak boleh menangis. Ia harus kuat. Tarik. Buang. Tarik. Buang. Oke.

Dia membuka pintu kamar Rainer. Di dengarnya Rainer mengulang deklarasi anak itu kepada Kiara. Seperti membacakan sebuah script. Mengetahui Rainer, pasti anak itu sudah melatihnya sedemikian rupa supaya terdengar tenang.

".... Jadi kemungkinan lebih besar adalah bahwa aku mungkin gak akan dapetin donor itu. Jadi, aku pikir, kamu harus tau. Aku mungkin gak akan sempet say goodbye."

Rachel terdiam membeku. Dia tidak bisa masuk. Kalau pintu ditutup pun akan terdengar bunyinya, tapi masa dia akan menguping?

Kemudian terdengar lagi suara anaknya, "Jangan nangis Ra..."

Rachel menahan napasnya. Dia berusaha agar tidak menangis, tapi Kiara dengan mudahnya menangis. Wajar, gadis itu terlalu muda. Dia tidak sadar seberapa besarnya keinginan Rainer agak bisa pergi dengan tenang.

"Aku gak nangis." Gafis itu terisak. "Aku cuma .... aku ngewakilin kamu. Karena kamu gak bisa nangis. Kamu gak perlu pura-pura kuat di depan aku Rai. I'll be with you until the very end."

Rachel membungkus mulutnya. Airmatanya mengalir deras, dia tidak boleh bersuara. "Aku takut Ra." Didengarnya suara Rainer. "Aku gak ingin mati."

Tanpa sadar Rachel mengangguk paham. Tidak ada yang ingin mati di dunia ini.

"Aku gak mau ninggalin mama sama koko. Aku gak mau ninggalin kamu. Aku bahkan gatau apa yang nunggu aku setelah aku meninggal. Aku gatau apa aku bisa ngeliat kamu lagi atau aku akan menghilang gitu aja. Aku mau hidup. Untuk 10, 20, 50 tahun lagi. Aku mau kerja, menikah, punya anak. Tapi aku gabisa. Kamu bener, aku juga gabisa nangis. Aku harus kuat, aku harus bahagia ....."

Rachel berlari menjauhi kamar Rainer. Ketika dia berada di lantai bawah, barulah tangisnya pecah. Seorang suster yang kebetulan lewat, menanyakan keadaannya, dan memintanya duduk. Tapi yang didengarnya hanya suara anaknya. Terulang-ulang terus menerus. Hingga kesadarannya memudar dan hilang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

To Breathe Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang